Selasa, 11 Desember 2012

Rembulan Pucat di Atas Bale (Terbit di Majalah Sastra Horison, Edisi Oktober 2012)


Rembulan Pucat di Atas Bale 

Langit kota Praya warna abu-abu dibayangi awan kelabu. Di Bale, Inak bertanya tentang merariq dengan kondisi hampir basi. Lazimnya Baiq yang cukup usia dan telah tunai waktunya menjadi perempuan sempurna. Inak memberi tahu bahwa sudah tunai waktunya membuka hati bagi Lalu untuk meminangku dan mendapat separuh jiwa yang baru. Namun ada ketakutan paling mendalam di hati Inak kalau aku tak pakai ali-ali di jemari. Inak selalu bermuka hitam layaknya malam gelap gulita bila melihatku sendiri bakda maghrib. Karena orang-orang menyebutku seperti Dare Bebalu. Inak pun malu begitu. Aih!
Aku tak lekas merariq, aku tak segera mencintai Lalu, aku tak menyegerakan diriku menjadi bidadari, aku tak sampai membuka pintu hatiku, aku hanya terpaku pada saat ada Lalu datang dengan pisuka sepantasnya yang sudah disetujui Inak. Tetapi Inak tiba-tiba menaikkan pisukanya lebih tinggi. Larilah Lalu keluar Baleku karena tak sanggup. Tiap bulan Inak akan kedatangan Lalu untuk meminangku, Lalu yang menghampiriku untuk cinta, Lalu yang menandaiku untuk bidadarinya, Lalu yang mengharapnkanku merariq tapi Inak selalu membuat kesepakatan pisuka lebih tinggi. Inak seperti menaikkan tarif mahal kepadaku, maka setiap Lalu menuju, pastilah tak ada yang mau, siapapun itu. Sesiapa Lalu datang, Inak panjatkan pisuka lebih dari sepantasnya. Kasihanilah aku, di jendela berduduk dan tak menjumpai waktu yang baru.
***
Di jendela hampir senja, aku menunggumu, San! Aku tenang menunggumu pulang sebab kau ingin merariq aku sesudah kuliah di pulau Jawa. San, kaulah senja yang melabuhkan kehangatan di tubuhku. Kaulah pikiran yang menghalangiku untuk berjalan setiap aku mengingatmu. Wahai kekasihku, San, Inak memaksaku punya Lalu! Paksaan inilah yang sering bersorak-sorak di kedalaman perihku dan aku selalu duduk di dekat jendela hanya untuk menantimu, San!
Inak tak pernah setuju dengan Sanjuri. Lelaki yang kucintai. Inak selalu bilang, kalau ingin merariq dengan anakku, beri aku pisuka dengan harga tinggi. Kamu siap berapa? Inak tak mau satu juta, dua juta. Inak mau seratus juta. Lelaki seperti Sanjuri mana pernah memiliki pisuka sebanyak itu, sebab untuk belajar saja membeli buku harus pinjam ke teman. Keperihan milik Sanjuri dan aku.
Spontan mata Sanjuri melotot dan gagap. Merasakan syarat yang sangat berat, seperti memikul setumpuk batu besar di punggungnya. Sanjuri kembali melangkah pulang. Aku membayangkan hatimu berdegup tak karuan, San! Betapa Inak akan marah, kalau aku sebut Inak mata duitan yang egois dengan kehendaknya dan selalu memaksaku untuk menjadi perempuan yang jual mahal. Aku yang disangkanya tak pernah merespon tiap ada Lalu kaya untuk merariq aku sedangkan Inak begitu, maunya aku merariq dengan pisuka setumpuk peti harta karun.
Inaklah yang kemudian mewakili jawabanku. Pula yang membuat keputusan pisuka setinggi-tingginya, semahal-mahalnya. Dan menjadi separuh jiwa tentang jawaban hatiku. Ah, Inak! Akan datang beberapa Lalu sampai kau setuju melepasku? Atau aku hanya terkurung di sangkar ini dan tak pernah Inak perhatikan betapa sedihnya dan meleburnya duka yang mendalam ini.
Kau tahu sifat Inak kan, San? Apakah kau siap menghadapi kerasnya kepala dan gigihnya serta egoisnya Inak karena tak ingin melepasku dengan pisuka yang sepantasnya? Atau kau akan menyerah begitu saja, San? Aku tahu, kau pasti sedang memikirkan caranya, bukan? San, segeralah datang. Aku menungguimu, aku duduk di dekat jendela, aku melihat bayanganmu berlari-lari. Cintamu yang berseri-seri.  
***
Aku pakai antep. Cuaca panas. Matahari ngengat. Di Bale, tak jauh beda dengan gurun pasir, seperti hamparan yang di atasnya matahari bulat. Teriakan Inak menolak angka pisuka yang terlalu kecil dari lelaki ladang yang datang ingin meminangku semakin membakar tubuhku. Arrggghhh...
Empat hari berikutnya, Inak menghampiriku.
“Sudah ada yang midang kamu!”
“Siapa dia, Inak?”
“Namanya Lalu Baihaqi.”
“Aku tak mengenali namanya.”
“Sudah. Ikut saja apa kata Inak. Perempuan Baiq menuruti kata-kata Inak.”
Inak benar-benar melepaskan aku ke tangan yang tak kutahu nasabnya, sifat keluarganya. Apakah hal ini pertanda kalau kau tak bisa memilikiku, San? Cepatlah ke Baleku. Aku menungguimu, aku duduk di dekat jendela, aku melihat bayanganmu berlari-lari. Cintamu yang berseri-seri.  
Oh Tuhan, malam ini aku di Bale Lalu Baihaqi. Kemarin ia merariq aku sebab Inak setuju dengan pisuka yang sebanyak peti harta karun meskipun aku tak suka, kutak mencintainya, San. Inak menyuruhku bilang iya. Aku ingin mengabarkanmu lewat surat dan getir yang berkelebat, ingin kulari bersamamu. Seperti janji kita dulu. Cintamu bagai rembulan waktu itu.
 “Iya. Aku akan midang kamu.” Katamu. Aku duduk di sebelahmu dan tanganmu melingkar ke leherku. O, surga. O, cinta.
“Apa kau tinggal lama di pulau Jawa?” tanyaku seperti angin yang menyampaikannya padamu. Rambutku terburai.
“Tak mungkin lama.”
Cepat datang, ya? Aku hanya ingin kamu menjadi suamiku.”
Kami lintasi malam. Kami duduk dengan membaca masa silam. Akan tetapi kami terburu-buru mendapati Inak bergegas dari arah barat menyanggul sapu.
“Inak pasti marah.” Celetukku.
“Kenapa?” Matamu melirikku.
“Di kejauhan, Inak membawa sapu.”
“Aku harus pamit dulu pada Inak.”
“Jangan! Hindarilah Inak.”
“Biarlah.”
“Cepat pergi atau kau digebuk Inak yang menggenggam sapu besar.”
Plaakk!!! Sapu panjang mendarat ke tubuh Sanjuri. Sanjuri bertubi-tubi mendapat kibasan sapu yang didaratkan Inak.
“Anakku tak murahan. Bukan anak ayam!” teriak Inak ke Hasan.
“Tidak Inak. Aku mencintai anak Inak. Aku ingin menikah dengannya.”
“Sudah. Dia tak lagi mosot,” Inak menyeretku dan mengusir Sanjuri. “Pergi. Jangan kau balik.”
“Inak, aku berusaha mendapat pisuka sesuai keinginan Inak, demi cintaku.”
“Sediakan dulu pisukamu sesuai dengan keinginan Inak.”
Aku naiki malam buta dan melihat punggungmu berdarah merah. Duh, mengapa Inak tak pernah yakin dengan cintamu, San?
***
Selabar telah diperdengarkan ke seluruh penduduk. Kemudian, utusan Lalu Baihaqi melakukan mesejati, beberapa waktu kemudian, Lalu Baihaqi beserta keluarga mbait wali. Saat itu, Inak tertawa lepas. Aku tak pernah mendapati Inak tertawa selepas itu. Tampak giginya berbaris rapi. Entah, apa yang membuatnya seperti tawa mulut goa. Inak tak cerita apa-apa padaku. Sedangkan aku harus mengikuti kemauannya yang egois itu.
Saking bahagianya Inak menyiapkan acara paling mewah dan meriah sekali waktu sorong serah. Pesta paling megah. Inak mengundang seluruh warga untuk hadir menjadi saksi perkawinanku. Duhai San, bilakah kau datang?    
Aku menyadari hal itu. Seperti yang pernah dibicarakan ketika Sanjuri inginkan aku. Pisuka yang Inak mau tak pernah suka sama suka. Inak mau lebih dari sekadar suka. Pisuka yang harus dibayar dengan angka lebih besar. Sambil bernafsu Inak ingin di atas rata-rata.
Inak benar-benar bahagia di atas penderitaanku. Aku mengikuti rangkaian acaranya dengan tangis dalam hati. Mataku sembab. Semoga kau tak saksikan acara terkutuk ini, San? Aku terlanjur dimiliki tanpa aku yang memiliki. Aku harus meraung-raung entah menuju kepada sesiapa, tak tahu aku lontarkan ke lelaki mana? Sesiapa yang ingin mendengarku. Inak saja lupa padaku, yang Inak mau di sakunya tebal pisukanya. Segeralah kesini, Inak!  
Gendang belek mengiringi langkah nyondolan. Lalu Baihaqi bermata buas itu ingin menguasai tubuhku terlebih dahulu. Lalu Baihaqi merajai tubuhku. “Kau telah kumiliki, jadilah pelayan yang baik, malam ini aku ingin berpesta. Malam ini aku pantas menjadi pangeranmu, sayang!” kubilang dalam hati: asu, beraninya kau kalahkan aku dengan pisuka, sesungguhnya aku berani begini karena Inak, satu-satunya alasan yang memaksakan kehendakku adalah Inak. Semalam ia menghalangiku pergi ke Balemu, San! Pada malam hari itu, ia tunai memecahkan gendangku dan telah menutup gerbang imajiku bersamamu.
Yang mengerikan pada malam itu, seusai Lalu memecah gendangku dan mewarnai langit malamku dengan ganasnya. Tiba-tiba Inak dan Lalu Baihaqi sengaja membuat perjanjian di ruang tamu. Mereka tak memandang dosa apalagi pisuka sudah di sakunya. Kurang benarkah aku dilahirkan? Atau cintaku yang pantas dihempaskan. Biadab, ternyata Inak dan Lalu Baihaqi memadu cinta sebagai sepasang kekasih. Inak menjadi ular bersama Lalu Baihaqi. Mereka saling berkalung nafsu. Inikah bagian dari yang direncanakan Inak? Inak bercakap jelas di situ, kalau aku dijual ke Lalu Baihaqi dengan pisuka yang pantas dan tak seperti yang diguncingkan Inak sejak dulu. Inak bahagia karena telah menjual tubuhku padanya. Inak dan Lalu Baihaqi membuat noktah hitam untuk keturunan bangsawan. Anggap saja aku barang murahan, bukan perempuan yang dulu disebut-sebut rembulan.
***
Langit kota Praya warna abu-abu dibayangi awan kelabu. Dengan gerah dan wajah yang amarah aku diam-diam meninggalkan Bale. Ingin sekali mencari cintamu yang berlari-lari. Ingin mengabarkanmu bahwa aku bukan perempuan seperti katamu, Rembulan! Yang sesungguhnya kutakutkan tiba. Yang ingin kuucapkan padamu mungkin sekadar pahit yang belum kau ketahui. Aku pergi ke Pesta Bau Nyale untuk menemuimu. Nampaknya udara menjadi dingin dan malam terus mengikuti sedihku yang disaksikan oleh perih hatiku. Kalau hari ini hujan, aku ingin mendekapmu erat-erat, San!
“Setidaknya kita telah berusaha.” Katamu. Setelah kuceritakan hal paling rumit ini.
“Iya, usaha yang sia-sia! Aku tak percaya dengan Inak saat itu juga.”
“Sekurang-kurangnya, kita masih punya masa depan.” Sanggahmu membuatku berani mempertaruhkan hidup. Aku berusaha sekuat tenaga bertekad keluar dari bayang-bayang Inak. Sampai aku berdiri di hadapanmu, kau tetap saja mencintaiku, San! Salahkah aku bercerita tentang bau tubuhku yang rusak ini, atau Inak yang selalu mengumbar wasiat kekosongan.
Meski sulit kucerna dan kusampaikan padamu tentang janin yang singgah di perutku. Aku tak ingin menunda untuk mengatakannya padamu. Walau nantinya, kau lepaskan aku bersama ombak yang mengarak seperti Putri Mandalike. Paling tidak kau sandarkan telingamu ke sini, ke perutku yang membuncit lima senti. (*)

Malang, 20 Maret 2011
 Catatan:
Merariq              : Perkawinan adat Sasak, Lombok, NTB. Diwujudkan dengan membawa si calon pengantin perempuan dengan cara ”mencuri” diam-diam, sembunyi-sembunyi atau dipalingkan dari orang tuanya. Benar-benar tanpa sepengetahuan orang tua
Amaq                    : Ayah
Inak                       : Ibu
Baiq                       : Gelar untuk bangsawan sasak perempuan dan Lalu untuk bangsawan sasak laki-laki
Dare Bebalu           : Gadis janda
Pisuka                    : Uang jaminan
Antep                    : Kipas yang dioperasikan dengan tangan
Midang                  : Bertamu ke rumah seorang gadis, untuk dikencani
Mosot                    : Membujang, tidak menikah
Selabar                  : Pihak laki-laki harus melaporkan kejadian kawin lari itu kepada kepala dusun tempat pengantin perempuan tersebut tinggal
Mesejati                 : Utusan laki-laki memberitahukan langsung kepada keluarga pihak perempuan tentang kebenaran terjadinya perkawinan itu
Mbait wali             : Permintaan keluarga laki-laki supaya wali dari pihak perempuan menikahkan anaknya dengan cara Islam
Sorong serah         : Acara pesta perkawinan atau resepsi pernikahan pada waktu orang tua si gadis akan kedatangan keluarga besar mempelai laki-laki, yang semua biayanya menjadi tanggung-jawab pihak laki-laki
Gendang belek      : Merupakan tari tradisional Lombok, karena alat musik utama yang dipakai sebagai pengiring dalam tarian ini terdiri atas dua buah gendang (belek) yang melebihi ukuran gendang biasa, sekaligus sebagai properti tari.
Nyondolan            : Mengantarkan kembali pihak perempuan pada pihak keluarganya.
Pesta Bau Nyale    : Pesta menangkap nyale (sejenis cacing laut berwarna hijau keemas-emasan) dan diyakini oleh warga Lombok sebagai jelmaan dari Putri Mandalike yang menceburkan dirinya ke laut saat diperebutkan oleh beberapa pemuda.
Terune dan dedare   : Pemuda dan pemudi. 

3 komentar:

Tofik mengatakan...

Wah menarik sekali cerpennya, ijin baca lagi

Husen Arifin mengatakan...

oke, makasih Tofik. baca cerpen lainnya ya.

Gufron Briboz mengatakan...

nie cerpen penyair masa depan,,, :)