Rabu, 19 Desember 2012

Pemetik Bunga dan Cinta Keabadian (Terbit di Inilah Koran Jabar, 16 Desember 2012)


Pemetik Bunga dan Cinta Keabadian


Semoga hari ini untuk selamanya, aku menjelma edelweiss. Sebab aku bunga yang abadi,  si cantik yang tak lekang. Aku ingin melukis perjalanan antara laut pepasir dan kaki nenek yang terkilir. Aku sedang menggapai mimpi di jalan curam serta senja yang hampir tenggelam bersama pemetik bunga hutan.
Aku masih mencoba bertumbuh, tumbuh di antara sesaknya nafas pemetik bunga dan tangis anaknya yang mulai terdengar sejauh satu kilometer. Barangkali aku mesti membebaskan mereka memetikku selagi aku berbunga. Dan aku bahagia kepada mereka. Sebab aku telah menjadi separuh jiwa mereka. Ya, mungkin untuk hari ini saja atau mungkin untuk selamanya.
Karena hari ini tak ada lagi riang anak-anak datang padaku, juga perempuan-perempuan yang ingin sekadar bercengkrama kepadaku. Atau para bapak yang benar-benar membutuhkanku untuk membayar hutang-hutangnya. Tak seperti dulu. Tak seperti ketika aku benar-benar dipuja dan dijadikan mahkota bagi mereka. Lantaran Gunung Bromo meletuskan harapan.
Setelah Merapi menghancurkan mimpi Mbah Marijan, mungkin mimpiku juga melebur karena letusan-letusan yang mulai aktif dari Gunung Bromo. Aku tersuruk dan tubuhku tertumpuk duka. Saban hari aku mulai memastikan bahwa aku masih bertumbuh, agar pemetik bunga hutan masih datang padaku, memetikku meskipun abu dan debu memercikkan segenap keputusasaan baginya, bagi mimpi pemetik bunga hutan.
Ya, aku menyebutnya, pemetik bunga hutan. Pemetik bunga hutan seringkali memetikku sebagai penyambung hidup dan mempertahankan kelangsungan hidup keluarganya. Begitulah aku diciptakan. Aku sungguh ingin berada dalam lingkaran hidup pemetik bunga hutan.
Mereka tinggal tak jauh dari tempatku dan di tengah tanah pepasir, sengat matahari, jalan curam, tanjakan jalan yang membahayakan tetaplah mereka memberanikan diri untuk memetikku. Kegigihannya seringkali dihantui oleh ketakutan, karena aku telah dilindungi dan pemetik bunga hutan gusar jika nanti mereka tertangkap petugas penjagaku.
Namun, pemetik bunga hutan tak pernah menyerah, karena bagi mereka, akulah yang mampu menjadi jembatan bagi hidup mereka. Tanpa aku, hidup pemetik bunga hutan akan punah juga. Ah, antara aku dan pemetik bunga hutan laiknya rindu yang tak terputus-putusnya. Niscaya aku tak ingin ditinggalkan oleh mereka.
***
Pagi hari, pemetik bunga hutan bergegas melangkahkan kakinya, terdengar suara sepatu yang berat, katup matanya bertanda masih ingin berselimut. Tapi hari ini pemetik bunga hutan harus memetikku, sebab tak ada yang mengepul di tungku. Dapurnya telah tiga hari tak pernah tersedia nasi dan lauk. Kali ini benar-benar terdesak.
Di hati para pemetik bunga hutan juga di ambang kekalutan. Sebab pemetik bunga hutan mendapat informasi bahwa ada larangan untuk mendaki, Gunung Bromo mulai meningkatkan batuk-batuknya. Ah, pemetik bunga hutan menggelengkan kepala, tak percaya.
Pemetik bunga hutan berlari dan berusaha menerobos asap, abu dan debu seperti menghadangnya untuk menghampiriku. Sementara aku kini hanyalah bunga yang kering, tak elok, tak abadi, bangkaiku kian seperti belulang yang lima bulan teronggok di tanah.
Pemetik bunga hutan terus menerobos segerombolan asap tebal, meski kesungguhan pemetik bunga hutan benar-benar bulat. Pantang baginya untuk mengalah, menyerahkan masa hidup keluarganya kepada orang-orang yang tak tahu makna pengorbanan dan ketulusan.
Pemetik bunga hutan hampir sampai di terjalan jalan curam. Jika dipandang ke bawah begitu menakutkan. Sedang aku masih jauh dari tempat pemetik bunga hutan. Ya, aku tinggal dekat lelehan larva pijar dan sekarang masih terus menyala. Pemetik bunga hutan melangkah dengan perasaan yang was-was.
Perasaan kasih pemetik bunga hutan tertuju pada keluarganya, pada senyum kecil yang tiap kali menjadi doa untuk memulai hidup. Perasaan rindu pemetik bunga hutan kepada kebersamaan. Ah, raihlah aku secepatnya agar kau mampu kembali kepada keluargamu dengan ketulusan dan pengorbanan yang sesungguhnya, batinku.
Barangkali inilah pemetik bunga hutan menjalankan tugasnya. Ia merasakan sesak yang teramat berjarak. Asap mulai merasuki tubuhnya. Pemetik bunga hutan memegangi dadanya, memandang dalam-dalam dinding Gunung Bromo seakan memandangiku. Ia ingin dekat padaku, memetikku sampai senja tiba. Lalu memberikan kabar kepada keluarga bahwa ia berhasil dan sebagai hadiah di malam Minggu. Ia segera melangkah lagi dengan sesaknya yang menjalar ke beberapa anggota tubuhnya.
“Tak apa. Kami tak jera. Kami dan edelweiss seumpama sepasang kekasih. Kami tak terpisahkan. Begitu juga Tuhan menciptakan kami tinggal di pegunungan. Kami tak ragu pada pengorbanan, kami mempunyai harapan.” Tegas pemetik bunga hutan saat seorang wisatawan datang untuk penelitian. Pemetik bunga hutan mengatakannya dengan kesungguhan.
“Dengan mencari kerja yang tergolong tidak mendekati maut juga bisa, bukan?” sambung seorang wisatawan ke pemetik bunga hutan. Kali ini pemetik bunga hutan sedang membenarkan letak topinya.
“Kami sadar maut terasa dekat. Kami juga paham jalan untuk menempuh tujuan sangat tak masuk akal. Kami pun ingin katakan pada diri sendiri bahwa yang kami lakukan di ambang kebiasaan dan tak terpikirkan. Tapi kami yakin pada ketulusan dan kepasrahan. Hidup kami sebentar lagi menjadi saksinya.” Tegasnya. Seorang wisatawan tergagap. Ia larut pada bayang pemetik bunga hutan yang tak pernah ia temukan sebelumnya.
Pemetik bunga hutan kembali berjalan. Ia ingin lebih dekat lagi padaku, agar secepatnya mendapat penghasilan. Lalu sampailah pemetik bunga hutan di tempatku, lebih dekat dari abu dan debu yang menusuk-nusuk kakinya sesekali. Ya, sakitnya sirna. Pemetik bunga hutan tak sia-siakan harapan ingin segera kembali kepada keluarganya.
Aku terbujur, kering. Tak ada kelopak yang rembulan di diriku selain wajahku yang lebam dan diliputi bau yang menyesakkan. Hari ini aku benar-benar membuat pemetik bunga hutan kegundahan yang kelu. Karena ia pastikan malam nanti tak ada makan malam, dan esoknya sarapan tinggal bayangan.
***
Aku yang berusaha bertumbuh, menjadi subuh yang penuh tanda, tanda-tanda bahwa aku ingin kekalkan diriku agar pemetik bunga hutan mampu bangkit dan mendekatiku, memetikku sampai terharu. Lalu dengan bahagianya, aku menjelma bunga abadi. Aku menjelma hiasan paling permata di mata pemetik bunga hutan.
Sampai di pertengahan jalan curam, pemetik bunga hutan mendengar teriakan berulang-ulang, ada petugas yang tahu bahwa pemetik bunga hutan sedang berada tak jauh dariku. Pemetik bunga hutan kalut. Ia takut. Kalau tertangkap dan keluarganya belum sempat mencium bau harapan ingin makan. Sementara asap kian tebal di dadanya, sesaknya berangsur menusuk dan memburuk. Ada nafasnya yang nyaris jatuh seperti batu-batu kecil dari ketinggian gunung.
Pemetik bunga hutan mencoba untuk mendekatiku, ia tak hiraukan gema larangan dari petugas, ia hapuskan segenap kalutnya sampai ia tahu bahwa aku sedang menunggunya, agar aku bersedia dipetiknya sekali lagi, walaupun asap tak lelah menusuknya, menjalar ke hatinya. Pemetik bunga hutan sampai terhenti langkahnya sesekali.
“Sampaikan kepada keluarga, kami telah mencoba.” Pemetik bunga hutan pun berusaha sekuat tenaga. Apabila tak sampai ia tahu bahwa kematian lebih mengharukan dari lindu.
***
Petugas menemukan tubuh pemetik bunga hutan terbujur kaku sambil menggenggamku. Asap mengalahkan pengorbanan dan ketulusannya. Lalu aku mengikutinya sampai ke gerbang rumah keluarga. Sebab tangan pemetik bunga hutan terus tak lepaskanku.
Mungkin untuk menggapai mimpi harus mengorbankan mimpi itu sendiri. Pada setiap mimpinya harus mencoba melewati jalan curam, dan setidaknya edelweiss dan pemetik bunga hutan memulai perjalanan menuju keabadian.

Probolinggo, 2012

Tidak ada komentar: