Pemetik Bunga dan
Cinta Keabadian
Semoga hari ini untuk selamanya, aku
menjelma edelweiss. Sebab aku bunga yang abadi,
si cantik yang tak lekang. Aku ingin melukis perjalanan antara laut
pepasir dan kaki nenek yang terkilir. Aku sedang menggapai mimpi di jalan curam
serta senja yang hampir tenggelam bersama pemetik bunga hutan.
Aku masih mencoba bertumbuh, tumbuh
di antara sesaknya nafas pemetik bunga dan tangis anaknya yang mulai terdengar
sejauh satu kilometer. Barangkali aku mesti membebaskan mereka memetikku selagi
aku berbunga. Dan aku bahagia kepada mereka. Sebab aku telah menjadi separuh
jiwa mereka. Ya, mungkin untuk hari ini saja atau mungkin untuk selamanya.
Karena hari ini tak ada lagi riang
anak-anak datang padaku, juga perempuan-perempuan yang ingin sekadar
bercengkrama kepadaku. Atau para bapak yang benar-benar membutuhkanku untuk
membayar hutang-hutangnya. Tak seperti dulu. Tak seperti ketika aku benar-benar
dipuja dan dijadikan mahkota bagi mereka. Lantaran Gunung Bromo meletuskan
harapan.
Setelah Merapi menghancurkan mimpi
Mbah Marijan, mungkin mimpiku juga melebur karena letusan-letusan yang mulai
aktif dari Gunung Bromo. Aku tersuruk dan tubuhku tertumpuk duka. Saban hari
aku mulai memastikan bahwa aku masih bertumbuh, agar pemetik bunga hutan masih
datang padaku, memetikku meskipun abu dan debu memercikkan segenap keputusasaan
baginya, bagi mimpi pemetik bunga hutan.
Ya, aku menyebutnya, pemetik bunga
hutan. Pemetik bunga hutan seringkali memetikku sebagai penyambung hidup dan
mempertahankan kelangsungan hidup keluarganya. Begitulah aku diciptakan. Aku
sungguh ingin berada dalam lingkaran hidup pemetik bunga hutan.
Mereka tinggal tak jauh dari
tempatku dan di tengah tanah pepasir, sengat matahari, jalan curam, tanjakan
jalan yang membahayakan tetaplah mereka memberanikan diri untuk memetikku.
Kegigihannya seringkali dihantui oleh ketakutan, karena aku telah dilindungi
dan pemetik bunga hutan gusar jika nanti mereka tertangkap petugas penjagaku.
Namun, pemetik bunga hutan tak
pernah menyerah, karena bagi mereka, akulah yang mampu menjadi jembatan bagi
hidup mereka. Tanpa aku, hidup pemetik bunga hutan akan punah juga. Ah, antara
aku dan pemetik bunga hutan laiknya rindu yang tak terputus-putusnya. Niscaya
aku tak ingin ditinggalkan oleh mereka.
***
Pagi hari, pemetik bunga hutan
bergegas melangkahkan kakinya, terdengar suara sepatu yang berat, katup matanya
bertanda masih ingin berselimut. Tapi hari ini pemetik bunga hutan harus
memetikku, sebab tak ada yang mengepul di tungku. Dapurnya telah tiga hari tak
pernah tersedia nasi dan lauk. Kali ini benar-benar terdesak.
Di hati para pemetik bunga hutan
juga di ambang kekalutan. Sebab pemetik bunga hutan mendapat informasi bahwa
ada larangan untuk mendaki, Gunung Bromo mulai meningkatkan batuk-batuknya. Ah,
pemetik bunga hutan menggelengkan kepala, tak percaya.
Pemetik bunga hutan berlari dan
berusaha menerobos asap, abu dan debu seperti menghadangnya untuk
menghampiriku. Sementara aku kini hanyalah bunga yang kering, tak elok, tak
abadi, bangkaiku kian seperti belulang yang lima bulan teronggok di tanah.
Pemetik bunga hutan terus menerobos
segerombolan asap tebal, meski kesungguhan pemetik bunga hutan benar-benar
bulat. Pantang baginya untuk mengalah, menyerahkan masa hidup keluarganya
kepada orang-orang yang tak tahu makna pengorbanan dan ketulusan.
Pemetik bunga hutan hampir sampai di
terjalan jalan curam. Jika dipandang ke bawah begitu menakutkan. Sedang aku
masih jauh dari tempat pemetik bunga hutan. Ya, aku tinggal dekat lelehan larva
pijar dan sekarang masih terus menyala. Pemetik bunga hutan melangkah dengan
perasaan yang was-was.
Perasaan kasih pemetik bunga hutan
tertuju pada keluarganya, pada senyum kecil yang tiap kali menjadi doa untuk
memulai hidup. Perasaan rindu pemetik bunga hutan kepada kebersamaan. Ah,
raihlah aku secepatnya agar kau mampu kembali kepada keluargamu dengan
ketulusan dan pengorbanan yang sesungguhnya, batinku.
Barangkali inilah pemetik bunga
hutan menjalankan tugasnya. Ia merasakan sesak yang teramat berjarak. Asap
mulai merasuki tubuhnya. Pemetik bunga hutan memegangi dadanya, memandang
dalam-dalam dinding Gunung Bromo seakan memandangiku. Ia ingin dekat padaku,
memetikku sampai senja tiba. Lalu memberikan kabar kepada keluarga bahwa ia
berhasil dan sebagai hadiah di malam Minggu. Ia segera melangkah lagi dengan
sesaknya yang menjalar ke beberapa anggota tubuhnya.
“Tak apa. Kami tak jera. Kami dan
edelweiss seumpama sepasang kekasih. Kami tak terpisahkan. Begitu juga Tuhan
menciptakan kami tinggal di pegunungan. Kami tak ragu pada pengorbanan, kami
mempunyai harapan.” Tegas pemetik bunga hutan saat seorang wisatawan datang
untuk penelitian. Pemetik bunga hutan mengatakannya dengan kesungguhan.
“Dengan mencari kerja yang tergolong
tidak mendekati maut juga bisa, bukan?” sambung seorang wisatawan ke pemetik
bunga hutan. Kali ini pemetik bunga hutan sedang membenarkan letak topinya.
“Kami sadar maut terasa dekat. Kami
juga paham jalan untuk menempuh tujuan sangat tak masuk akal. Kami pun ingin
katakan pada diri sendiri bahwa yang kami lakukan di ambang kebiasaan dan tak
terpikirkan. Tapi kami yakin pada ketulusan dan kepasrahan. Hidup kami sebentar
lagi menjadi saksinya.” Tegasnya. Seorang wisatawan tergagap. Ia larut pada bayang
pemetik bunga hutan yang tak pernah ia temukan sebelumnya.
Pemetik bunga hutan kembali
berjalan. Ia ingin lebih dekat lagi padaku, agar secepatnya mendapat
penghasilan. Lalu sampailah pemetik bunga hutan di tempatku, lebih dekat dari
abu dan debu yang menusuk-nusuk kakinya sesekali. Ya, sakitnya sirna. Pemetik
bunga hutan tak sia-siakan harapan ingin segera kembali kepada keluarganya.
Aku terbujur, kering. Tak ada
kelopak yang rembulan di diriku selain wajahku yang lebam dan diliputi bau yang
menyesakkan. Hari ini aku benar-benar membuat pemetik bunga hutan kegundahan
yang kelu. Karena ia pastikan malam nanti tak ada makan malam, dan esoknya
sarapan tinggal bayangan.
***
Aku yang berusaha bertumbuh, menjadi
subuh yang penuh tanda, tanda-tanda bahwa aku ingin kekalkan diriku agar
pemetik bunga hutan mampu bangkit dan mendekatiku, memetikku sampai terharu.
Lalu dengan bahagianya, aku menjelma bunga abadi. Aku menjelma hiasan paling
permata di mata pemetik bunga hutan.
Sampai di pertengahan jalan curam,
pemetik bunga hutan mendengar teriakan berulang-ulang, ada petugas yang tahu
bahwa pemetik bunga hutan sedang berada tak jauh dariku. Pemetik bunga hutan
kalut. Ia takut. Kalau tertangkap dan keluarganya belum sempat mencium bau
harapan ingin makan. Sementara asap kian tebal di dadanya, sesaknya berangsur
menusuk dan memburuk. Ada nafasnya yang nyaris jatuh seperti batu-batu kecil
dari ketinggian gunung.
Pemetik bunga hutan mencoba untuk
mendekatiku, ia tak hiraukan gema larangan dari petugas, ia hapuskan segenap
kalutnya sampai ia tahu bahwa aku sedang menunggunya, agar aku bersedia
dipetiknya sekali lagi, walaupun asap tak lelah menusuknya, menjalar ke
hatinya. Pemetik bunga hutan sampai terhenti langkahnya sesekali.
“Sampaikan kepada keluarga, kami telah
mencoba.” Pemetik bunga hutan pun berusaha sekuat tenaga. Apabila tak sampai ia
tahu bahwa kematian lebih mengharukan dari lindu.
***
Petugas menemukan tubuh pemetik
bunga hutan terbujur kaku sambil menggenggamku. Asap mengalahkan pengorbanan
dan ketulusannya. Lalu aku mengikutinya sampai ke gerbang rumah keluarga. Sebab
tangan pemetik bunga hutan terus tak lepaskanku.
Mungkin untuk menggapai mimpi harus
mengorbankan mimpi itu sendiri. Pada setiap mimpinya harus mencoba melewati
jalan curam, dan setidaknya edelweiss dan pemetik bunga hutan memulai
perjalanan menuju keabadian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar