Jumat, 07 Desember 2012

Rembulan di Surau (Terbit di Kedaulatan Rakyat, 4 November 2012)

cerpen "Rembulan di Surau" dalam proses menulisnya banyak mendapatkan cobaan, dimulai dari judul sampai tamat penceritaannya. Saya sangat yakin cerpen ini memiliki kekuatan dan mampu menembus media massa. Keyakinan dan optimisme saya akhirnya menuai keberhasilan. RdS (Rembulan di Surau) mampu menarik minat redaktur Kedaulatan Rakyat di Jogja. Saking sumringahnya saya ingin berbagi kepada teman-teman. Berikut cerpennya, saya berharap, berilah komentar untuk cerpen RdS, agar saya tahu sejauh mana Anda membaca dan akrab untuk cerita ini:


Rembulan di Surau 


Seorang lelaki berusia enam puluh tahun sering kujumpai ketika subuh dengan menggotong kesepiannya sambil mengaji di surau. Lihatlah, ia ditemani kesepian. Aku takut jika aku mendekat apalagi merapat dan bertanya: mengapa mesti mengaji di surau?
Tidak bisa aku katakan kalau lelaki itu melampiaskan kesepiannya yang mendalam dan menyendiri di surau. Sedangkan orang-orang bergegas kembali ke rumah mereka, mempersiapkan diri untuk mencari nafkah. Aku hampir berangkat menuju rumah.
Lelaki tersebut menoleh pelan-pelan. Seperti ada kalimat yang ingin disampaikan. Aku berhenti. Nampaknya lelaki itu ingin berdiri. Aku segera datangi dia. Ketika ia berdiri tiba-tiba bibirnya tersenyum ke arahku.
***
Diam-diam ibuku menaruh surat di meja. Setelah aku baca seperti ada tanda yang pernah kuingat sebelumnya. Ucapan terima kasih tapi tak bernama. Ibuku bilang kalau surat itu dari Pak Pos. Belum sempat kuterka lalu wajah lelaki tua di surau terbayang-bayang. Pengirim surat ini apa benar kakek itu? Isi surat yang singkat: saya ucapkan terima kasih padamu, Nak!
Larut malam ibuku mendatangiku lagi. Ibu duduk di sebelahku sambil nonton televisi. “Tentang kakekmu, Nak!” ibuku berbicara seakan mengetuk kenangan yang belum pernah kuraba.
“Ada apa dengan kakek, Bu?” kuhadapkan wajahku. Bola mata ibu berlinang. “kakekmu adalah lentera bagi keluarga ini,” sesenggukan ibu malam ini semakin rapat, menyorongku larut ke dalam kenangan. “keluarga kita teramat sangat mencintainya, kakek mengajari kita untuk saling menolong dan tak sombong.”
Jendela masih terbuka. Hujan tiba-tiba datang. Begitu saja kupeluk ibu. “Kakek luar biasa ya, Bu! Kenapa Amir tak pernah dipertemukan?” keluhku membuat ibu mengusap airmatanya.
***
Dengan langkah mantab kejejaki malam menuju surau. Ingin kupastikan tidak ada doa yang tergadaikan. Dan hidupku mesti dipanjatkan dengan lantunan ayat paling menggetarkan. Aku mencintai malamku dengan sederhana. Sholat dua rakaat, mengaji dengan sarung terlipat dan kupakai kopiah agak miring sesaat.
Sekarang ini aku membetulkan mikrofon. Kata tetanggaku suara azan maghrib jelek sekali  di desa ini mirip gelas pecah.
“Bukankah muadzinnya cakep, kok suaranya cempreng sih!” ketus ibu muda.
“Iya, seperti meminum bir dan memaksa diri menjadi yang paling suci,” tambah temannya, perempuan tua.
“Dia bukan Amir. Tapi ada orang lain yang masuk ke surau.” Lelaki tua menjawab pelan.
Karena itulah aku didatangi para tetangga dengan segelintir keluh pada suara azan. Padahal aku tak bertugas menjadi muadzin di waktu maghrib. Mereka memaki dan mencampuri kata-kata dengan jorok sekali. Aih, kalimat yang sesak di dada. Ampunilah teriakan mereka, barangkali hidup tak sekadar baik-baik saja.
“Baiklah, kucari muadzin itu. Semoga tak ada keributan lagi. Atas nama takmir surau, aku mohon kepada seluruh warga di desa ini diharap tenang.” dan mereka lekas pergi meninggalkan cacian yang sangat dalam.
“Lebih bijak begitu, Nak!” suara dari kejauhan, lelaki tua yang sering kulihat di surau. “padahal aku yakin kau tak sebengal itu!”
“Kakek yakin?” tanggapku di hadapannya.
“Bila aku tak yakin, mengapa mesti kubela atas namamu. Seruan Tuhan sering gagal jika bukan kamu yang berkumandang.” Lelaki tua itu benar-benar jujur. Aku menghela nafas dan ingin mengucapkan rasa terima kasihku.
Sekarang corong azan di desa ini suaranya merdu. Kumandang azan kembali renyah didengar. Aku dapat mengembalikan kepercayaan tetangga atas pilihan mereka menjadikanku takmir surau, muda, dan masih belajar berhitung. Lelaki tua datang lebih awal dan mengucapkan salam. Kubalas dengan senyuman.
Duhai malam yang enggan kupasrahkan pergi. Malam yang tak pernah kuniatkan menjadi seriang ini. Setelah kutahu bahwa lelaki itu telah menyelamatkanku dari caci maki yang keji. Sesungguhnya kebaikan pohon-pohon yang digoyangkan angin memberi suasana sejuk di malamku.
Terjadi kerinduan kepada Kakek yang diceritakan ibu kemarin. Andai saja Kakek di sini, aku yakin usianya tak jauh beda dengan lelaki tua itu, berperilaku santun dan mendoakan cucunya. Sembari kuterbayang, ada pergulatan yang sampai kini belum terjawab tentang makam kakekku yang tak pernah ditunjukkan ibu kepadaku. Meski ayah terlanjur pergi meninggalkannya, mestinya kupunyai sosok lelaki yang pantas kujadikan figur bagi masa depanku.
“Sudahlah. Kamu tak perlu mengingat-ngingat masa silam,” tegur ibu. “kakekmu sudah tiada. Kamu tak perlu mengeruk kembali kenangan itu. Lakukan pekerjaanmu sebagaimana inginnya kakek kepadamu di waktu kecil.”
Begitulah ibu seketika, wajahnya memerah. Ibu merasakan benci dan sayang kepada kakek. Benci karena sesuatu, dan sayang karena sesuatu juga. Dilematis sekali ibu. Dengan alasan yang tak masuk akal bagiku. Lantas lelaki tua itu, mengapa sering melihatku dan percaya bahwa aku adalah malaikat baginya? Apakah aku adalah cucunya yang tak pernah ditemuinya sejak kecil?
***
Tuhan, jika kasih sayang dimulai dari menghormati mata kaki ibu, maka cinta akan kumulai dari menciuminya untuk menemui lelaki itu. Apabila malam telah larut, lelaki tua itu tetap tak pulang ke rumahnya kecuali di surau menyahuti suara kodok dengan ayat Tuhan. Tapi ibuku menyelimuti diri di kasur. Nyenyak sekalipun mendengar jeritan jangkrik.
“Kakek?” ucapku dari belakang. Lelaki tua itu menoleh. Suasana tegang dan tak kudapati rasa malu darinya. “kakekku adalah kamu, bapak tua!” kuyakini sambil mendekatinya pelan-pelan.
Tak ada salahnya aku menganggap malam ini sebagai kesucian yang telah terbuka hijabnya setelah bertahun-tahun. Tak mungkin aku gelisahi lagi sosok kakek yang diceritakan ibu. Kuakui diri ini sebagai kebodohan karena tak mencintainya sejak awal pertemuan.
“Kamu jadikan aku sebagai kakekmu, Nak!” kata lelaki tua sembari menaruh mushaf di rak surau. “iya, kaulah kakekku, penyayang untuk cucumu, dan mengajarkan kami untuk bertahan meskipun tajamnya kehidupan, kau telah mengajarkan kami ketegaran. Kembalilah, kakekku!” aku memohon kepadanya.
“Aku kira, tak ada kesedihan yang dibuat-buat seperti memasak roti tanpa resep yang tidak jelas,” ujar lelaki tua kepadaku. “aku bukan kakekmu, Amir!”
“Kenapa kamu membelaku saat mereka menghardikku? Kenapa kamu menjadi bagian dari kebahagiaanku?” tanyaku dengan tangis yang tak usai.
“Mestinya ibumu menceritakan, bahwa aku adalah saudara kembar dari kakekmu.”
“Ya, Tuhan! Inikah keajaiban malam.” Aku memeluk lelaki tua itu erat-erat. Selama lima belas tahun aku belum pernah merasakan kasih sayang lelaki di dalam keluarga.
Ibu, maukah kau bangun sebentar, mengajakku berkelana mencari jejak kakek yang menjelma rembulan. Di hadapanku, lelaki tua itu menghapus airmataku dan mengajakku ke surau.
Malang, Mei 2012

1 komentar:

Anonim mengatakan...

sempat bingung di pertengahan cerita, tapi aku dapat menyimpulkan, kaulah saudara se almamaterQ yg sudah menjelma sebagai seorang penyair...
bahasamu cerpenmu adalah bahasa seorang penyair...
semangat untuk melanjutkan akhi!
semoga sukses!