Rembulan di Surau
Seorang lelaki berusia enam puluh tahun sering
kujumpai ketika subuh dengan menggotong kesepiannya sambil mengaji di surau.
Lihatlah, ia ditemani kesepian. Aku takut jika aku mendekat apalagi merapat dan
bertanya: mengapa mesti mengaji di surau?
Tidak bisa aku katakan kalau lelaki itu
melampiaskan kesepiannya yang mendalam dan menyendiri di surau. Sedangkan
orang-orang bergegas kembali ke rumah mereka, mempersiapkan diri untuk mencari
nafkah. Aku hampir berangkat menuju rumah.
Lelaki tersebut menoleh pelan-pelan.
Seperti ada kalimat yang ingin disampaikan. Aku berhenti. Nampaknya lelaki itu
ingin berdiri. Aku segera datangi dia. Ketika ia berdiri tiba-tiba bibirnya tersenyum
ke arahku.
***
Diam-diam ibuku menaruh surat di meja.
Setelah aku baca seperti ada tanda yang pernah kuingat sebelumnya. Ucapan
terima kasih tapi tak bernama. Ibuku bilang kalau surat itu dari Pak Pos. Belum
sempat kuterka lalu wajah lelaki tua di surau terbayang-bayang. Pengirim surat
ini apa benar kakek itu? Isi surat yang singkat: saya ucapkan terima kasih
padamu, Nak!
Larut malam ibuku mendatangiku lagi. Ibu
duduk di sebelahku sambil nonton televisi. “Tentang kakekmu, Nak!” ibuku berbicara
seakan mengetuk kenangan yang belum pernah kuraba.
“Ada apa dengan kakek, Bu?” kuhadapkan
wajahku. Bola mata ibu berlinang. “kakekmu adalah lentera bagi keluarga ini,”
sesenggukan ibu malam ini semakin rapat, menyorongku larut ke dalam kenangan. “keluarga
kita teramat sangat mencintainya, kakek mengajari kita untuk saling menolong
dan tak sombong.”
Jendela masih terbuka. Hujan tiba-tiba
datang. Begitu saja kupeluk ibu. “Kakek luar biasa ya, Bu! Kenapa Amir tak
pernah dipertemukan?” keluhku membuat ibu mengusap airmatanya.
***
Dengan langkah mantab kejejaki malam menuju
surau. Ingin kupastikan tidak ada doa yang tergadaikan. Dan hidupku mesti
dipanjatkan dengan lantunan ayat paling menggetarkan. Aku mencintai malamku
dengan sederhana. Sholat dua rakaat, mengaji dengan sarung terlipat dan kupakai
kopiah agak miring sesaat.
Sekarang ini aku membetulkan mikrofon. Kata
tetanggaku suara azan maghrib jelek sekali
di desa ini mirip gelas pecah.
“Bukankah muadzinnya cakep, kok suaranya cempreng sih!” ketus ibu muda.
“Iya, seperti meminum bir dan memaksa diri
menjadi yang paling suci,” tambah temannya, perempuan tua.
“Dia bukan Amir. Tapi ada orang lain yang
masuk ke surau.” Lelaki tua menjawab pelan.
Karena itulah aku didatangi para tetangga
dengan segelintir keluh pada suara azan. Padahal aku tak bertugas menjadi
muadzin di waktu maghrib. Mereka memaki dan mencampuri kata-kata dengan jorok
sekali. Aih, kalimat yang sesak di dada. Ampunilah teriakan mereka, barangkali
hidup tak sekadar baik-baik saja.
“Baiklah, kucari muadzin itu. Semoga tak
ada keributan lagi. Atas nama takmir surau, aku mohon kepada seluruh warga di
desa ini diharap tenang.” dan mereka lekas pergi meninggalkan cacian yang
sangat dalam.
“Lebih bijak begitu, Nak!” suara dari
kejauhan, lelaki tua yang sering kulihat di surau. “padahal aku yakin kau tak
sebengal itu!”
“Kakek yakin?” tanggapku di hadapannya.
“Bila aku tak yakin, mengapa mesti kubela
atas namamu. Seruan Tuhan sering gagal jika bukan kamu yang berkumandang.”
Lelaki tua itu benar-benar jujur. Aku menghela nafas dan ingin mengucapkan rasa
terima kasihku.
Sekarang corong azan di desa ini suaranya
merdu. Kumandang azan kembali renyah didengar. Aku dapat mengembalikan
kepercayaan tetangga atas pilihan mereka menjadikanku takmir surau, muda, dan
masih belajar berhitung. Lelaki tua datang lebih awal dan mengucapkan salam.
Kubalas dengan senyuman.
Duhai malam yang enggan kupasrahkan pergi.
Malam yang tak pernah kuniatkan menjadi seriang ini. Setelah kutahu bahwa
lelaki itu telah menyelamatkanku dari caci maki yang keji. Sesungguhnya kebaikan
pohon-pohon yang digoyangkan angin memberi suasana sejuk di malamku.
Terjadi kerinduan kepada Kakek yang
diceritakan ibu kemarin. Andai saja Kakek di sini, aku yakin usianya tak jauh
beda dengan lelaki tua itu, berperilaku santun dan mendoakan cucunya. Sembari
kuterbayang, ada pergulatan yang sampai kini belum terjawab tentang makam
kakekku yang tak pernah ditunjukkan ibu kepadaku. Meski ayah terlanjur pergi
meninggalkannya, mestinya kupunyai sosok lelaki yang pantas kujadikan figur
bagi masa depanku.
“Sudahlah. Kamu tak perlu mengingat-ngingat
masa silam,” tegur ibu. “kakekmu sudah tiada. Kamu tak perlu mengeruk kembali
kenangan itu. Lakukan pekerjaanmu sebagaimana inginnya kakek kepadamu di waktu
kecil.”
Begitulah ibu seketika, wajahnya memerah.
Ibu merasakan benci dan sayang kepada kakek. Benci karena sesuatu, dan sayang
karena sesuatu juga. Dilematis sekali ibu. Dengan alasan yang tak masuk akal
bagiku. Lantas lelaki tua itu, mengapa sering melihatku dan percaya bahwa aku
adalah malaikat baginya? Apakah aku adalah cucunya yang tak pernah ditemuinya
sejak kecil?
***
Tuhan, jika kasih sayang dimulai dari
menghormati mata kaki ibu, maka cinta akan kumulai dari menciuminya untuk
menemui lelaki itu. Apabila malam telah larut, lelaki tua itu tetap tak pulang ke
rumahnya kecuali di surau menyahuti suara kodok dengan ayat Tuhan. Tapi ibuku
menyelimuti diri di kasur. Nyenyak sekalipun mendengar jeritan jangkrik.
“Kakek?” ucapku dari belakang. Lelaki tua
itu menoleh. Suasana tegang dan tak kudapati rasa malu darinya. “kakekku adalah
kamu, bapak tua!” kuyakini sambil mendekatinya pelan-pelan.
Tak ada salahnya aku menganggap malam ini
sebagai kesucian yang telah terbuka hijabnya setelah bertahun-tahun. Tak
mungkin aku gelisahi lagi sosok kakek yang diceritakan ibu. Kuakui diri ini
sebagai kebodohan karena tak mencintainya sejak awal pertemuan.
“Kamu jadikan aku sebagai kakekmu, Nak!”
kata lelaki tua sembari menaruh mushaf di rak surau. “iya, kaulah kakekku, penyayang
untuk cucumu, dan mengajarkan kami untuk bertahan meskipun tajamnya kehidupan,
kau telah mengajarkan kami ketegaran. Kembalilah, kakekku!” aku memohon
kepadanya.
“Aku kira, tak ada kesedihan yang
dibuat-buat seperti memasak roti tanpa resep yang tidak jelas,” ujar lelaki tua
kepadaku. “aku bukan kakekmu, Amir!”
“Kenapa kamu membelaku saat mereka
menghardikku? Kenapa kamu menjadi bagian dari kebahagiaanku?” tanyaku dengan
tangis yang tak usai.
“Mestinya ibumu menceritakan, bahwa aku
adalah saudara kembar dari kakekmu.”
“Ya, Tuhan! Inikah keajaiban malam.” Aku
memeluk lelaki tua itu erat-erat. Selama lima belas tahun aku belum pernah
merasakan kasih sayang lelaki di dalam keluarga.
Ibu, maukah kau bangun sebentar, mengajakku
berkelana mencari jejak kakek yang menjelma rembulan. Di hadapanku, lelaki tua itu
menghapus airmataku dan mengajakku ke surau.
Malang,
Mei 2012
1 komentar:
sempat bingung di pertengahan cerita, tapi aku dapat menyimpulkan, kaulah saudara se almamaterQ yg sudah menjelma sebagai seorang penyair...
bahasamu cerpenmu adalah bahasa seorang penyair...
semangat untuk melanjutkan akhi!
semoga sukses!
Posting Komentar