Rembulan Pucat di Atas Bale
Langit kota Praya warna abu-abu dibayangi awan kelabu. Di
Bale, Inak bertanya tentang merariq dengan kondisi hampir basi. Lazimnya Baiq
yang cukup usia dan telah
tunai waktunya menjadi perempuan sempurna. Inak memberi tahu bahwa
sudah tunai waktunya membuka hati bagi Lalu untuk meminangku dan mendapat separuh jiwa yang baru.
Namun ada
ketakutan paling mendalam di hati Inak kalau aku tak pakai ali-ali di jemari. Inak selalu bermuka hitam
layaknya malam gelap gulita bila
melihatku sendiri bakda
maghrib.
Karena orang-orang menyebutku seperti Dare Bebalu. Inak pun malu
begitu. Aih!
Aku tak lekas merariq, aku tak segera mencintai Lalu, aku tak menyegerakan
diriku menjadi bidadari, aku tak sampai membuka pintu hatiku, aku hanya terpaku
pada saat ada Lalu datang dengan pisuka sepantasnya yang
sudah disetujui Inak. Tetapi Inak tiba-tiba menaikkan pisukanya lebih tinggi.
Larilah Lalu keluar Baleku karena tak sanggup. Tiap bulan Inak akan kedatangan
Lalu untuk meminangku, Lalu yang menghampiriku untuk cinta, Lalu yang
menandaiku untuk bidadarinya, Lalu yang mengharapnkanku merariq tapi Inak selalu
membuat kesepakatan pisuka lebih tinggi. Inak seperti menaikkan tarif mahal kepadaku, maka
setiap Lalu menuju, pastilah tak ada yang mau, siapapun itu. Sesiapa
Lalu datang, Inak panjatkan pisuka lebih dari sepantasnya. Kasihanilah aku, di
jendela berduduk dan tak menjumpai waktu yang baru.
***
Di jendela hampir senja,
aku menunggumu, San! Aku tenang menunggumu pulang sebab kau ingin merariq aku sesudah
kuliah di pulau Jawa. San, kaulah senja yang melabuhkan kehangatan di tubuhku.
Kaulah pikiran yang menghalangiku untuk berjalan setiap aku mengingatmu. Wahai
kekasihku, San, Inak memaksaku punya Lalu! Paksaan inilah yang sering bersorak-sorak
di kedalaman perihku dan aku selalu duduk di dekat jendela hanya untuk menantimu,
San!
Inak tak pernah setuju
dengan Sanjuri. Lelaki yang kucintai. Inak selalu bilang, kalau ingin merariq
dengan anakku, beri aku pisuka dengan harga tinggi. Kamu siap berapa? Inak tak
mau satu juta, dua juta. Inak mau seratus juta. Lelaki seperti Sanjuri mana pernah memiliki pisuka
sebanyak itu, sebab untuk belajar saja membeli buku harus pinjam ke teman.
Keperihan milik Sanjuri dan aku.
Spontan mata Sanjuri melotot dan gagap. Merasakan syarat yang sangat berat, seperti
memikul setumpuk batu besar di punggungnya. Sanjuri kembali melangkah pulang. Aku
membayangkan hatimu berdegup
tak karuan, San! Betapa Inak akan marah, kalau aku sebut
Inak mata duitan yang egois
dengan kehendaknya dan selalu memaksaku untuk menjadi perempuan yang jual
mahal. Aku
yang disangkanya tak pernah merespon tiap ada Lalu kaya untuk merariq aku sedangkan Inak begitu, maunya aku merariq dengan
pisuka setumpuk peti harta karun.
Inaklah yang kemudian mewakili jawabanku. Pula yang membuat keputusan
pisuka setinggi-tingginya,
semahal-mahalnya. Dan menjadi separuh jiwa tentang jawaban hatiku. Ah,
Inak! Akan datang beberapa Lalu sampai kau setuju melepasku? Atau aku hanya terkurung di sangkar ini dan tak
pernah Inak perhatikan betapa sedihnya dan meleburnya duka yang mendalam ini.
Kau tahu sifat Inak kan,
San? Apakah kau siap menghadapi kerasnya kepala dan gigihnya serta egoisnya Inak karena tak ingin melepasku dengan
pisuka yang sepantasnya?
Atau kau akan menyerah
begitu saja, San? Aku tahu, kau pasti sedang memikirkan
caranya, bukan? San, segeralah datang. Aku menungguimu, aku duduk di dekat jendela, aku melihat
bayanganmu berlari-lari. Cintamu yang berseri-seri.
***
Aku pakai antep. Cuaca panas. Matahari ngengat. Di
Bale, tak jauh beda dengan gurun pasir, seperti hamparan yang di atasnya matahari bulat.
Teriakan Inak menolak angka pisuka yang terlalu kecil dari lelaki ladang yang
datang ingin meminangku semakin
membakar tubuhku. Arrggghhh...
Empat hari berikutnya, Inak
menghampiriku.
“Sudah ada yang midang
kamu!”
“Siapa dia, Inak?”
“Namanya Lalu Baihaqi.”
“Aku tak mengenali namanya.”
“Sudah. Ikut saja apa
kata Inak. Perempuan Baiq menuruti kata-kata Inak.”
Inak benar-benar
melepaskan aku ke tangan yang tak kutahu nasabnya, sifat keluarganya.
Apakah hal ini pertanda
kalau kau tak bisa memilikiku, San? Cepatlah ke Baleku. Aku menungguimu, aku
duduk di dekat jendela, aku melihat bayanganmu berlari-lari. Cintamu yang berseri-seri.
Oh Tuhan, malam ini aku di Bale Lalu Baihaqi.
Kemarin ia merariq aku
sebab Inak setuju dengan pisuka yang sebanyak peti harta karun meskipun
aku tak suka, kutak
mencintainya, San. Inak menyuruhku bilang iya. Aku ingin
mengabarkanmu lewat surat dan
getir yang berkelebat, ingin kulari bersamamu. Seperti
janji kita dulu. Cintamu
bagai rembulan waktu itu.
“Iya. Aku akan midang
kamu.” Katamu. Aku duduk di sebelahmu dan tanganmu melingkar ke leherku. O,
surga. O, cinta.
“Apa kau tinggal lama di
pulau Jawa?” tanyaku seperti angin yang menyampaikannya padamu. Rambutku
terburai.
“Tak mungkin lama.”
“Cepat datang, ya? Aku hanya ingin kamu
menjadi suamiku.”
Kami lintasi malam.
Kami duduk dengan membaca masa silam. Akan tetapi kami terburu-buru mendapati
Inak bergegas dari arah barat menyanggul sapu.
“Inak pasti marah.”
Celetukku.
“Kenapa?” Matamu
melirikku.
“Di kejauhan, Inak
membawa sapu.”
“Aku harus pamit dulu
pada Inak.”
“Jangan! Hindarilah
Inak.”
“Biarlah.”
“Cepat pergi atau kau digebuk Inak yang menggenggam
sapu besar.”
Plaakk!!! Sapu panjang
mendarat ke tubuh Sanjuri. Sanjuri bertubi-tubi mendapat kibasan sapu yang
didaratkan Inak.
“Anakku tak murahan.
Bukan anak ayam!” teriak Inak ke Hasan.
“Tidak Inak. Aku
mencintai anak Inak. Aku ingin menikah dengannya.”
“Sudah. Dia tak lagi mosot,”
Inak menyeretku dan mengusir Sanjuri. “Pergi. Jangan kau balik.”
“Inak, aku berusaha
mendapat pisuka sesuai keinginan Inak, demi cintaku.”
“Sediakan dulu pisukamu sesuai dengan keinginan Inak.”
Aku naiki malam buta dan melihat punggungmu
berdarah merah.
Duh, mengapa
Inak tak pernah yakin dengan cintamu, San?
***
Selabar telah diperdengarkan ke seluruh penduduk.
Kemudian, utusan Lalu Baihaqi melakukan mesejati, beberapa waktu kemudian, Lalu
Baihaqi beserta keluarga mbait wali. Saat itu, Inak tertawa lepas. Aku tak
pernah mendapati Inak tertawa selepas itu. Tampak giginya berbaris rapi. Entah,
apa yang membuatnya seperti tawa mulut goa. Inak tak cerita apa-apa padaku. Sedangkan aku
harus mengikuti kemauannya
yang egois itu.
Saking bahagianya Inak menyiapkan acara paling mewah dan meriah sekali waktu sorong serah. Pesta paling megah. Inak mengundang seluruh warga
untuk hadir menjadi saksi perkawinanku. Duhai San, bilakah kau datang?
Aku menyadari hal itu. Seperti yang pernah dibicarakan ketika Sanjuri
inginkan aku. Pisuka yang Inak mau tak pernah suka sama suka. Inak mau lebih dari sekadar suka. Pisuka yang harus dibayar dengan angka lebih besar. Sambil bernafsu Inak ingin di
atas rata-rata.
Inak benar-benar
bahagia di atas penderitaanku. Aku mengikuti rangkaian acaranya dengan tangis dalam hati. Mataku sembab. Semoga kau tak saksikan acara terkutuk ini, San? Aku terlanjur
dimiliki tanpa aku yang memiliki. Aku harus meraung-raung entah menuju kepada sesiapa, tak
tahu aku lontarkan ke lelaki
mana?
Sesiapa yang ingin mendengarku. Inak saja lupa padaku, yang Inak mau di sakunya
tebal pisukanya. Segeralah kesini, Inak!
Gendang belek
mengiringi langkah nyondolan.
Lalu Baihaqi bermata buas itu ingin
menguasai tubuhku terlebih dahulu. Lalu
Baihaqi merajai tubuhku. “Kau telah kumiliki, jadilah pelayan yang baik, malam
ini aku ingin berpesta. Malam ini aku pantas menjadi pangeranmu, sayang!”
kubilang dalam hati: asu, beraninya kau kalahkan aku dengan pisuka,
sesungguhnya aku berani begini karena Inak, satu-satunya alasan yang memaksakan
kehendakku adalah Inak. Semalam ia menghalangiku pergi ke Balemu, San! Pada
malam hari itu, ia tunai memecahkan gendangku dan telah menutup gerbang
imajiku bersamamu.
Yang mengerikan pada malam itu, seusai Lalu memecah gendangku dan mewarnai langit
malamku dengan ganasnya. Tiba-tiba Inak dan Lalu Baihaqi sengaja membuat perjanjian di
ruang tamu. Mereka tak memandang dosa apalagi pisuka sudah di sakunya. Kurang
benarkah aku dilahirkan? Atau cintaku yang pantas dihempaskan. Biadab, ternyata Inak dan Lalu Baihaqi memadu cinta sebagai sepasang kekasih. Inak menjadi ular bersama Lalu Baihaqi. Mereka saling berkalung
nafsu. Inikah bagian
dari yang direncanakan Inak? Inak
bercakap jelas di situ, kalau aku
dijual ke Lalu Baihaqi dengan pisuka yang pantas dan tak seperti yang
diguncingkan Inak sejak dulu. Inak
bahagia karena telah menjual tubuhku padanya. Inak dan Lalu Baihaqi membuat
noktah hitam untuk keturunan bangsawan. Anggap saja aku barang
murahan, bukan perempuan yang dulu disebut-sebut rembulan.
***
Langit kota Praya warna abu-abu dibayangi awan kelabu. Dengan
gerah dan wajah yang amarah aku diam-diam meninggalkan Bale. Ingin sekali mencari
cintamu yang berlari-lari. Ingin mengabarkanmu bahwa aku bukan perempuan seperti
katamu, Rembulan! Yang sesungguhnya kutakutkan tiba. Yang ingin kuucapkan
padamu mungkin sekadar pahit yang belum kau ketahui. Aku pergi ke Pesta Bau Nyale untuk menemuimu. Nampaknya udara menjadi dingin dan malam
terus mengikuti sedihku yang disaksikan oleh perih hatiku. Kalau hari ini hujan,
aku ingin mendekapmu erat-erat, San!
“Setidaknya kita telah berusaha.” Katamu. Setelah kuceritakan hal
paling rumit ini.
“Iya, usaha yang sia-sia! Aku tak
percaya dengan Inak saat itu juga.”
“Sekurang-kurangnya, kita masih punya masa depan.” Sanggahmu membuatku
berani mempertaruhkan hidup. Aku berusaha sekuat tenaga bertekad keluar dari
bayang-bayang Inak. Sampai aku berdiri di hadapanmu, kau tetap saja
mencintaiku, San! Salahkah aku bercerita tentang bau tubuhku yang rusak ini, atau
Inak yang selalu mengumbar wasiat kekosongan.
Meski sulit kucerna dan kusampaikan padamu tentang janin yang singgah
di perutku. Aku tak ingin menunda untuk mengatakannya padamu. Walau nantinya, kau
lepaskan aku bersama ombak yang mengarak seperti Putri Mandalike. Paling tidak
kau sandarkan telingamu ke sini, ke perutku yang membuncit lima senti. (*)
Malang, 20 Maret 2011
Catatan:
Merariq : Perkawinan adat Sasak, Lombok,
NTB. Diwujudkan dengan membawa si calon pengantin perempuan dengan cara
”mencuri” diam-diam, sembunyi-sembunyi atau dipalingkan dari orang tuanya.
Benar-benar tanpa sepengetahuan orang tua
Amaq : Ayah
Inak :
Ibu
Baiq :
Gelar untuk
bangsawan sasak perempuan dan Lalu untuk bangsawan sasak laki-laki
Dare Bebalu : Gadis janda
Pisuka :
Uang jaminan
Antep :
Kipas yang
dioperasikan dengan tangan
Midang :
Bertamu ke
rumah seorang gadis, untuk dikencani
Mosot :
Membujang,
tidak menikah
Selabar :
Pihak laki-laki harus melaporkan kejadian kawin lari itu
kepada kepala dusun tempat
pengantin perempuan tersebut tinggal
Mesejati :
Utusan laki-laki memberitahukan langsung kepada keluarga
pihak perempuan tentang kebenaran terjadinya perkawinan itu
Mbait wali : Permintaan keluarga laki-laki supaya wali dari pihak perempuan
menikahkan anaknya dengan cara Islam
Sorong serah :
Acara pesta perkawinan atau resepsi pernikahan pada waktu
orang tua si gadis akan kedatangan keluarga besar mempelai laki-laki, yang
semua biayanya menjadi tanggung-jawab pihak laki-laki
Gendang belek :
Merupakan tari tradisional Lombok, karena alat musik utama yang dipakai sebagai
pengiring dalam tarian ini terdiri atas dua buah gendang (belek) yang melebihi
ukuran gendang biasa, sekaligus sebagai properti tari.
Nyondolan : Mengantarkan
kembali pihak perempuan pada pihak keluarganya.
Pesta Bau Nyale : Pesta menangkap nyale (sejenis cacing laut
berwarna hijau keemas-emasan) dan diyakini oleh warga Lombok sebagai jelmaan
dari Putri Mandalike yang menceburkan dirinya ke laut saat diperebutkan oleh
beberapa pemuda.
Terune dan dedare : Pemuda dan pemudi.
3 komentar:
Wah menarik sekali cerpennya, ijin baca lagi
oke, makasih Tofik. baca cerpen lainnya ya.
nie cerpen penyair masa depan,,, :)
Posting Komentar