Kamis, 27 Desember 2012

#FF2in1: Peri Ibu!

Peri Ibu!

Setelah kaulahirkanku ke bumi paling wangi. Dan daun-daun jatuh untuk bersujud padamu sambil mengurai tentang hari esok yang misteri. Kali ini kauusapi aku dengan doa. Ya, sebagaimana kautahu tentang malam dan pagi yang bersilang dan tak bertabrakan.
Bulan yang berkepanjangan, kau tak lelah menerjemahkan waktu di kala aku divonis oleh dokter sebagai anak yang tak wajar. Kakiku besar, sebesar kesedihanku ketika melihatmu letih. Tapi kau terus menerus berdoa.
“Mengapa sedih, Nak?” tanyamu suatu waktu ketika menanak nasi di atas tungku bebatu.
“Apakah Ibu tahu tentang kesedihan?” saking ringkihnya aku.
“Karena kakimu itu?”
“Iya, Bu!”
“Tak mengapa. Kakimu itu adalah keberkahan Tuhan. Jangan mengurai kesedihan begitu. Ibu tetap yakin engkau menjadi seseorang yang teguh. Sudahlah, kakimu adalah kehormatan bagi negeri ini.”
Aku mengingat puisi berjudul Ibu yang diciptakan penyair Madura, D. Zawawi Imron. Suatu hari ketika aku membacanya di depan kelas dalam perlombaan hari kemerdekaan. Barangkali yang merdeka adalah ibu. Dan yang tunai atas segala sesuatunya adalah ibu. Sebagaimana kasih sayang ibu, ya, di samping ibu aku melanjutkan membaca puisi itu.
Di negeri ini, ibu telah menjelma peri. Peri yang terkadang datang membawakan rembulan. Dan yang dinanti-nanti oleh seluruh rakyatnya. Aku menunggui ibu di malam hari. Sesekali berdoa pada Tuhan, agar peri malam ini lebih cantik dari pulau-pulau yang tak bernama sehabis digerus oleh negeri lain.
Ah, peri! Sampaikanlah kepadaku, mengapa kata-kataku lancar mengalir untukmu? Aku tak sanggup meniru kegigihanmu. Aku merasa kakiku mengecil dan kembali sempurna ketika peri datang membawa seribu puisi, dan aku memanggilmu, Ibu. (*)
Probolinggo, 27 Desember 2012

Tidak ada komentar: