Peri Ibu!
Setelah kaulahirkanku ke bumi
paling wangi. Dan daun-daun jatuh untuk bersujud padamu sambil mengurai tentang
hari esok yang misteri. Kali ini kauusapi aku dengan doa. Ya, sebagaimana
kautahu tentang malam dan pagi yang bersilang dan tak bertabrakan.
Bulan yang
berkepanjangan, kau tak lelah menerjemahkan waktu di kala aku divonis oleh
dokter sebagai anak yang tak wajar. Kakiku besar, sebesar kesedihanku ketika
melihatmu letih. Tapi kau terus menerus berdoa.
“Mengapa sedih, Nak?”
tanyamu suatu waktu ketika menanak nasi di atas tungku bebatu.
“Apakah Ibu tahu tentang
kesedihan?” saking ringkihnya aku.
“Karena kakimu itu?”
“Iya, Bu!”
“Tak mengapa. Kakimu itu
adalah keberkahan Tuhan. Jangan mengurai kesedihan begitu. Ibu tetap yakin
engkau menjadi seseorang yang teguh. Sudahlah, kakimu adalah kehormatan bagi
negeri ini.”
Aku mengingat puisi berjudul
Ibu yang diciptakan penyair Madura, D. Zawawi Imron. Suatu hari ketika aku
membacanya di depan kelas dalam perlombaan hari kemerdekaan. Barangkali yang
merdeka adalah ibu. Dan yang tunai atas segala sesuatunya adalah ibu. Sebagaimana
kasih sayang ibu, ya, di samping ibu aku melanjutkan membaca puisi itu.
Di negeri ini, ibu telah
menjelma peri. Peri yang terkadang datang membawakan rembulan. Dan yang
dinanti-nanti oleh seluruh rakyatnya. Aku menunggui ibu di malam hari. Sesekali
berdoa pada Tuhan, agar peri malam ini lebih cantik dari pulau-pulau yang tak
bernama sehabis digerus oleh negeri lain.
Ah, peri! Sampaikanlah kepadaku,
mengapa kata-kataku lancar mengalir untukmu? Aku tak sanggup meniru kegigihanmu.
Aku merasa kakiku mengecil dan kembali sempurna ketika peri datang membawa
seribu puisi, dan aku memanggilmu, Ibu. (*)
Probolinggo, 27 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar