Celurit Api
Selasa yang
sepi.
Aku bergegas
ke kantormu. Aku mencoba bangkit dari keterpurukan. Seperti katamu, hidup
adalah kepingan yang mudah ditata kembali.
Duh... ada
lelaki yang mendatangiku. Dia mencoba tersenyum bagai rembulan. Oya, betapa
baiknya, dia menyodorkanku minuman kecil. Saking senangnya, dia tampak lebih
gagah.
Riang yang
terkenang. Bagaimana mungkin kau berpaling? Ketika aku berharap pada kasih
sayangmu. Lelaki yang menolongku sudah pergi dan tak kembali. Di lobi kantor,
kau juga tak datang. Tapi aku dan resepsionis saling berpandang mata,
tersenyum, dan memainkan praduga.
Apakah mencintaimu
adalah kesalahan yang terbaik? Aku harap cintaku menjelma musim penghujan yang
sejuk dan kita mampu bergairah menatap senja yang temaram.
Selasa yang
tak lagi berima. Hanya titik pertanyaan paling membosankan kuhaturkan untukmu:
ada dimana? Dengan siapa? Kenapa tak kunjung tiba?
“Iya,
Sayang! Aku terjebak di perjalanan. Macet.” Aku membayangkan keletihanmu. Dan aku
ingin membawakan pelukan terhangat.
“Baiklah. Hati-hati
ya...” suara telepon yang mesra. Seperti pelukan yang lebih lama.
Hari-hari
mungkin sebungkus kerinduan. Bila tak berjumpa maka cinta laksana mati suri. Demikian
pula kurasakan. Duh, rindu-rindu benar menggebu. Tapi ketika kesibukan ini
meggelayuti dalam diri. Apalah daya.
Ketika kantormu
mulai satu per satu ditinggalkan penghuninya. Aku terus menungguimu. Namun
tiba-tiba, kudengar suara yang tak lain suara lelakiku. Sudah kuduga, itulah
suara terbaik yang kukenal, tapi ia dibarengi dengan suara perempuan yang sama
kukenali.
Perempuan itu
temanku, ia dan lelakiku. Aku menungguinya di lobi kantor. Sesekali kuputar
kenangan yang retak ini. Ketika mereka mengetahuiku. Aku tersenyum. Ada celurit
di tanganku. Sesekali kuingin mengayunkannya ke dalam cinta yang terluka.
Probolinggo,
19 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar