Sengkarut Struktur Semantis
(Pembacaan Atas 5 Puisi Husen Arifin di Buku Puisi SULFATARA)
Oleh : Malkan Junaidi
Penyair, Aktivis Facebook
Sebenarnya saya ingin membicarakan antologi puisi
“Sulfatara” secara keseluruhan, sebab menurut saya antologi yang diterbitkan
komunitas Pelangi Sastra Malang ini tergolong bisa dibicarakan. Alasan saya:
pertama, karena ia memuat tak lebih dari 20 nama; kedua, dengan rata-rata 5
puisi per penyair membuatnya terasa cukup representatif dan adil dalam sebuah
usaha pelanskapan, tidak sebagaimana antologi yang marak akhir-akhir ini, yang
memuat lebih dari 50 penulis tetapi masing-masing hanya diberi kesempatan
menampilkan paling banyak 2 judul puisi. Namun untuk sementara saya akan
membatasi pembicaraan hanya pada puisi-puisi Husen Arifin. Bukan karena
puisi-puisinya lebih saya sukai ketimbang yang lain atau sebaliknya paling tak
saya sukai di antara yang lain, tetapi, jujur, karena saya sudah berjanji
kepada yang bersangkutan untuk melakukan tinjauan, longokan,dan icipan atas
karya-karyanya dan memberikan ‘kritik’ ala kadarnya.
Di pengantar buku yang ditulis oleh Ketua Komite
Sastra Dewan Kesenian Jawa Timur, Mashuri, saya menemukan komentar-komentar
atas para penyair yang karyanya dimuat di antologi ini, termasuk tentunya
komentar atas Husen Arifin. Berikut saya kutipkan komentar tersebut:
“Puisi-puisi Husen Arifin memang tak lagi berkutat
dengan ihwal teknik perpuisian, karena ia sudah cukup mahir. Yang ia butuhkan
adalah bagaimana ia memiliki gaya pribadi yang khas karena ia sudah memiliki
kemampuan menyajikan puisi dalam banyak gaya, yang satu di antara yang lain
kadang berbeda. Gaya-gaya ini, jika dibaca lebih jauh, memang bertradisi pada
perpuisian Indonesia kini. Jika ia memiliki pengucapan pribadi, karena
bagaimanapun puisi pada taraf tertentu adalah pengucapan pribadi, tentu itu
akan menunjukkan bahwa dia telah fasih dan canggih mengolah gelisah dan
gagasannya.”[sic.]
Meski tidak mengerti dengan maksud “…bertradisi
pada perpuisian Indonesia kini.” (tradisi perpuisian Indonesia kini [mutakhir?]
itu yang bagaimana?), namun saya menggaris bawahi dua hal: (1) Husen Arifin
sudah tak bermasalah dengan teknik perpuisian, namun (2) Husen Arifin belum
memiliki pengucapan yang khas.
Husen Arifin lahir di Probolinggo, 23 tahun silam. 5
puisinya yang dimuat di “Sulfatara” adalah karya dari tahun 2010, kecuali puisi
“Sebuah Petuah” berasal dari tahun 2011. Pemuda yang adalah alumnus Fakultas
Ekonomi Jurusan Manajemen UIN Maliki Malang ini karyanya banyak muncul di
antologi bersama dan konon ia pernah mendapat penghargaan dalam sebuah lomba
esai nasional. Pengatahuan biografis menyangkut umur, jenis kelamin, status
perkawinan, tempat lahir dan tempat tinggal, pendidikan, dan sebagainya,
menurut saya penting untuk pembicaraan yang tak asal-asalan. Meski
kesusasteraan bisa dipandang sebagai fakta tekstual independen, lepas dari
siapa penulisnya, juga motif dan ideologi apa yang melatarbelakangi proses
kreatif yang berlangsung, namun tak jarang pembacaan dengan metode strukturalis
semacam itu terasa arogan dan simplifikatif. Sayang saya belum berkesempatan
membaca seluruh karya yang dikirimkan untuk antologi ini (kabarnya masing
penyair diminta mengirimkan 10 judul), jika sudah tentu lebih baik.
Setelah membaca puisi-puisinya yang tersuguh di
halaman 52-57 dan biografinya yang termaktub di halaman 137-138 saya
menyimpulkan bahwa tidak terdapat (ko)relasi signifikan antara fakta bahwa
Husen Arifin menggeluti ilmu manajemen dengan fakta tema dominan apa yang
ditulisnya di puisi-puisinya. Kelihatannya kuliah dan puisi bagi Husen Arifin
adalah dua hal yang berbeda, dua pilihan dengan dua alasan yang berlainan, yang
satu tak memengaruhi yang lain. Barangkali sebab itulah tak satu puisinya di
antologi ini membicarakan realitas perekonomian kontemporer. Sebaliknya ia
lebih asyik berbisik-bisik dengan entah apa entah siapa, tentang hal-hal klise
semacam kerinduan, kekhawatiran, impian, dan kekaguman.
seribu ketakutanku
barangkali mengiringi mimpimu
atau menjadi kunang-kunang malam
mengelabuhi tidurmu yang hampir kelam.
o, tampak laut sudah keriput
hingga batas perihku akut
dan tak ada lagi halauan
tak ada tentang kasih berdekapan
bersama payau yang beriak ke dermaga kenangan.
mungkin aku dekat pada kesepianmu
pada malam paling tenang
untuk mengalihkan nyanyian dukamu
menjadi sebaris catatan pengantar rindu
rindumu yang nyaris terbawa seribu ketakutanku.[sic. ]
Kekaburan merupakan ihwal yang saya tangkap pertama
kali dari puisi yang berjudul “Seribu Ketakutan” di atas. Saya bertanya-tanya
apa sebenarnya yang ditakutkan oleh aku-lirik sampai-sampai frasa “seribu
ketakutan” disebutkan dua kali di puisi yang relatif pendek ini dan digunakan
sebagai judul pula? Adakah seribu ketakutan ini adalah (ihwal yang
dipicu oleh) krisis yang tersirat di bait kedua: “laut sudah keriput”, “tak
ada lagi halauan”[sic.], dan “tak ada tentang kasih berdekapan” itu?
Mungkin saja. Husen Arifin ─ tidak saja dalam puisi ini, namun juga di 4 puisi
yang lain─ tampak keteteran dalam menjaga koherensi antar bait, dan alih-alih
mengatakan banyak hal dengan sedikit imaji, ia menjibuni puisi-puisinya dengan
macam-macam imaji yang namun malah membingungkan saya perihal inti yang ingin
disampaikan. Memang kata-kata dalam puisi berfungsi bukan cuma sebagai jongos
makna, sebaliknya dipilih sedemikian rupa karena dianggap sanggup menghadirkan
nuansa tertentu, keindahan tertentu, dan itulah kenapa puisi tak bisa
diterjemahkan ke bahasa yang lain, karena proses penerjemahan tidak lain
merupakan proses pengungkaian makna, sedang makna bukanlah realitas utama atau
satu-satunya dari puisi. Namun jika sebuah puisi lebih menonjolkan permainan
bunyi, terlebih jika terjadi pergeseran kelas kata (sebagaimana adjektiva payau
yang bergeser menjadi nomina dalam bersama payau yang beriak ke dermaga
kenangan.) yang dibarengi distorsi makna yang entah apa gunanya (apa atau
siapa yang bersama payau itu? (ke)kasih (yang) berdekapan-kah?
Jika iya, maka apa atau siapa yang ke dermaga kenangan? payau yang
beriak atau (ke)kasih (yang) berdekapan? Lalu hingga batas
perihku akut, apa atau siapa yang mencapai batas perihku, dan apa
yang akut itu, perihku atau batas? Serba membingungkan.
Mungkin Husen Arifin ingin melakukan pemadatan teks,
seperti yang pernah dan sering dilakukan Chairil Anwar, dengan menghilangkan
bagian-bagian yang keabsenannya dianggap tak akan merusak atau bahkan
merubuhkan struktur semantis, malahan memperkayanya melalui ambiguitas
interpretatif. Jika benar, maka saya menilai usaha ini, setidaknya di puisi
“Seribu Ketakutan” tersebut, belum cukup berhasil, kalau tak boleh disebut
gagal total. Karena bukan multi-tafsir yang saya dapat dalam pembacaan, namun
multi-kebingungan. Bahkan usaha mendekati bait pertama dengan metode parafrasa
semisal “seribu ketakutanku barangkali mengiringi mimpimu atau menjadi
kunang-kunang malam (yang) mengelabuhi tidurmu yang hampir kelam.”
tak menolong saya untuk lebih memahami maksud bait tersebut, apalagi
menikmatnya. Saya tak bisa membayangkan gambaran tidur-yang-dikelabuhi itu
bagaimana, terlebih tidur-yang-kelam. Orang mungkin akan menyanggah: “Tapi Anda
tak bisa memakai kebingungan Anda sebagai parameter kegagalan puisi orang lain,
sebab boleh jadi banyak orang tidak bingung seperti Anda!”. Jika demikian mari
kita lanjutkan ke puisi berikut.
kandang hatimu:
harimau meletakkan kakinya
ke bangku, menjadi seseorang paling
perkasa, membuka tabir tabir luka, gigi sebesar
jemari merekah dan meruncing sekali.
seperti celurit bermata. dan kau membisik padanya
merajuk pada tubuh angkuh, menyegerakan
membabat belulang sedihku
rapuh, merapuh ke segala riuh.
angin mengekal dan mengenggam
pada perih, pada lirih, pada ringkih
yang kurasakan dalam gembala
dan bermain dalam sirkus,
di harimau yang berulang menjelma malam
mengisyaratkan ingin melahap, mengungkap ingin merayap
ke gemuruh dadaku yang tak siap
kadang hatimu:
bagaimana kalau aku buat kandang baru?
berisikan rembulan, kelinci bergigi puisi,
dan gajah afrika
hingga membuatku tak ingat pada harimau
yang terlukis di dadamu,
mata harimau
mata cintamu
sebab itu aku cemburu.[sic.]
Puisi di atas berjudul “Kandang Hatimu”, dan
berdasarkan judul tersebut saya menganggap baris pertama bait kelima (kadang
hatimu) dan baris kedua bait ketiga (…dan mengenggam) sebagai salah
ketik. Tidak sedikit salah ketik di Buku “Sulfatara” ini memang. Saya tak tahu
ini kesalahan pengirim naskah atau pengolah naskah. Bahkan Mashuri di Pengantar
menulis Britney Spears sebagai “Bretney Spears”. Sebuah kecerobohan yang
semestinya sudah tak terjadi pada seorang yang notabene penulis senior seperti
dia. Lepas dari itu, menurut saya “Kandang Hatimu” relatif lebih mudah dipahami
inti dan arahnya dibanding “Seribu Ketakutan”. Puisi ini menggambarkan
konfrontasi aku-lirik dengan seseorang yang tampaknya memiliki hubungan intim
dengan aku-lirik tersebut. Bisa kekasih atau tokoh yang banyak mem(p)engaruhi
cara berpikir dan bersikap aku-lirik. Saya pribadi memandang konfrontasi ini
sebagai konfrontasi oedipal, di mana bayang-bayang kemegahan seseorang
menimbulkan hasrat ganda: meniru sekaligus membantainya. Narasi lalu meruncing
pada usaha konsolidasi yang direpresentasikan oleh kalimat “bagaimana kalau
aku buat kandang baru?” dan ditutup dengan baris “sebab itu aku cemburu”
yang menegaskan adanya Kompleks Oedipus tadi.
Kecenderungan bermain bunyi tampak jelas kentara di
bait ketiga. Tentu saja bermain bunyi bukan merupakan sebuah dosa, sebaliknya
apabila dilakukan secara proporsional, tidak berlebihan, akan menjadi sisi
penguat struktur puisi secara keseluruhan. Namun saya justru menganggap bait
ketiga tersebut sebagai “pengganggu”. Keberadaannya seperti kehadiran seorang
perempuan genit di sebuah warung kopi di mana saya tengah melakukan percakapan
serius dengan seorang pelanggan lain yang sudah saya kenal baik. Perempuan itu
menanyakan sesuatu yang saya tak tahu jawabannya dan pertanyaannya menurut saya
tak penting-penting amat baik untuk dijawab ataupun dicari jawabannya. Saya
terganggu dengan kegenitannya dan sedikit marah karena ia menginterupsi
percakapan saya. Karena itulah saya pikir eliminasi terhadap bait ketiga ini
tak akan menimbulkan gangguan semantis yang serius, malah membuat tubuh puisi
“Kandang Hatimu” menjadi lebih ramping dan seksi, karena sesungguhnya bait
ketiga ini (di)hadir(kan) lebih sebagai akustika fonetis, terutama dalam “rapuh,
merapuh ke segala riuh” dan “pada perih, pada lirih, pada ringkih”.
bunga-bunga meninggikan tubuhnya
sampai diam-diam ke batas mataku
melebihi airmataku membuat sebidang rindu
ya, aku rindu malam penuh lelagu
ingin kupijakkan kenangan
bersama orang orang memahat rembulan
memahat jejak jejak yang kutitipkan
saat aku masih menyisakan kata untuk berjelaga
rupanya malam ini bukan lagi pujangga
aku bernafas sejenak, sejenak
untuk memintal sajak
mencari derai derai ombak
pada bunga bunga yang bergerak
karena malam ini bukan kita
yang menyertai cita cita
menuju singgasana surga
dan terlampau luka kubacakan doa
pada bunga bunga yang meninggikan tubuhnya
teratai teratai yang berduka
di tugu ibu aku temukan
telaga yang kering airmatanya [sic.]
Saya tak tahu melalui puisi di atas Husen Arifin ingin
membicarakan apa sebenarnya. Judul “Tugu Ibu” yang disematkan meski tersusun
bukan dari imaji abstrak namun menurut saya gagal menjadi idiom yang melahirkan
makna segar. Secara garis besar puisi ini adalah pertunjukan kesengkarutan dan
inkonsistensi yang disembunyikan di balik tebalnya bedak ritme dan rima. Baris
“sampai diam-diam ke batas mataku” merupakan dislokasi sintaksis yang
kalau ‘dikoreksi’ menjadi “diam-diam sampai ke batas mataku” pun masih
menyisakan tanya: apa itu batas mata? Saya mencoba membaca ulang, kali ini
dengan lebih santai, dan hasil pembacaan saya adalah: ada bunga-bunga yang
tumbuh secara diam-diam, tingginya mencapai mata, atau: ada bunga-bunga yang
tumbuh secara diam-diam, tingginya sampai pandangan tak sanggup menjangkaunya.
Dari dua kemungkinan hasil pembacaan ini dapat disimpulkan bahwa inti yang
ingin dikatakan adalah bunga-bunga yang diam-diam tumbuh makin tinggi.
Namun pembicaraan mengenai bunga ini lantas mandeg,
aku-lirik berpindah membicarakan kerinduannya pada malam (yang) penuh
lelagu, malam di mana aku-lirik bersama orang-orang memahat rembulan.
Sayang, bagian yang menarik ini lalu disusuli tiga baris yang tak jelas
juntrung maknanya: “memahat jejak jejak yang kutitipkan”, dititipkan
pada apa atau siapa? dan jika sudah dititipkan kenapa masih dipahat? tidakkah
logikanya seharusnya dipahat dulu baru dititipkan? Saya pun curiga pada bagian
“saat aku masih menyisakan kata untuk berjelaga/rupanya malam ini bukan lagi
pujangga” itu Husen Arifin hanya ingin menyihir pembaca dengan pesona
resonansi kata “berjelaga” dan “pujangga”, tak lain dan tak bukan. Kita bisa
memang dalam cara yang berbeda membaca lima baris terakhir bait pertama
tersebut sebagai sebuah kalimat independen: ingin kupijakkan kenangan, bersama
orang-orang, memahat rembulan (dan) memahat jejak jejak yang kutitipkan (pada….?)
saat aku masih menyisakan kata untuk berjelaga, (namun) rupanya malam
ini (aku) bukan lagi pujangga, dan dengan demikian maknanya menjadi
cukup terlihat. Namun terdapat kejanggalan: apa korelasi status kepujanggaan
dengan keseluruhan runtut makna dan peristiwa di bait pertama itu? juga jika
memang malam ini (aku) bukan lagi pujangga, lantas kenapa aku
bisa “memintal sajak” sebagaimana tersebut di bait berikutnya?
Inkonsistensi tidak saja terjadi di lapis makna, Husen
Arifin juga tampak tak konsisten dalam meniadakan tanda hubung, terbukti
reduplikasi pada kata “diam-diam” masih menggunakan tanda hubung. Adakah kata
“diam-diam” lebih istimewa dibanding kata ulang yang lain di seluruh puisi
tersebut? Entahlah. Puisi ini ditutup dengan baris “di tugu ibu aku temukan
telaga yang kering airmatanya”. Mungkin puisi “Tugu Ibu” memang dimaksudkan
sebagai sejenis requiem atas kematian ‘sosok’ ibu. Serakan imaji ‘nglangut’
semacam “airmata, jelaga, luka, doa, dan duka yang berusaha diklimakskan pada
dua baris terakhir adalah alasan utama penyimpulan tersebut. Mungkin Husen
Arifin di puisi ini lebih ingin membangun suasana ketimbang makna. Namun saya
pikir sulit suasana akan tercecap dan terhayati jika sebuah teks kental dengan
permainan bunyi.
Merdeka itu, kata perempuan separuh rembulan,
adalah ketika hatimu menjumpai airmata
dan tak sesedih itu. Bangkitlah, rayakan hari ini
sebuah merdeka yang bangkit dari kerasnya sesal.
Sejak kemerdekaan terhampar, maka tak lagi tangis
yang esok kering, melainkan bertambah miris.
Bagikanlah Maut menyebar, agar sesekali
kematian menjadi resepsi.
Pesan cinta itu, kata perempuan separuh rembulan,
adalah malam yang menabur bintang, tapi rindumu
sebasah hujan meretas ke penggal pohon dan reranting
bergugur di antara mimpimimpi kenangan.
Di surga, kita masih mengingat apa yang terbit
sehabis gelap.[sic.]
Rembulan agaknya merupakan imaji favorit Husen Arifin.
Semua puisinya yang dimuat di “Sulfatara”, kecuali puisi “Seribu Ketakutan”,
mengandung kata ini. Imaji rembulan selalu mengingatkan kita pada imaji malam.
Sedang kehadiran rembulan sendiri di waktu malam adalah romantisme setingkat
dengan kehadiran fajar di pagi hari; harapan di hadapan keputusasaan,
keberanian di hadapan ketakutan, dan sebagainya. Meski demikian tak mudah bagi
saya memastikan maksud dari frasa “perempuan separuh rembulan” di puisi
yang berjudul “Sebuah Petuah” di atas. Jika seorang perempuan digambarkan
separuhnya berupa rembulan, maka mau tak mau kita mempertanyakan yang
separuhnya lagi berupa apa? Matahari? Sepertinya hanya Husen Arifin saja yang
tahu. Sebab kebebasan yang eksistensinya diandaikan melalui frasa “the death of
author” bukanlah jaminan bahwa sebuah proses pembacaan akan selalu berhasil
mencapai penafsiran. Tak jarang keeksentrikan dalam membentuk jukstaposisi
menjadi tabir yang tak dapat ditembus kecuali oleh penulisnya sendiri.
Saya tak bisa berbohong mengatakan saya tidak kecewa
melihat bahwa di puisi yang tergolong paling anyar ini Husen Arifin belum juga
‘insyaf’ dan melakukan pembenahan atas ‘kesalahan-kesalahan’ kebahasaannya,
terutama menyangkut inkonsistensi gagasan. Betapa masih terlihat
ketidakistiqomahan itu di empat baris pertama; gagasan “kemerdekaan”
diagungkan, “bangkitlah, rayakan hari ini”, kemerdekaan dianggap identik
dengan kebangkitan dan optimisme, namun segera gagasan itu dikhianatinya
sendiri melalui “Sejak kemerdekaan terhampar, maka tak lagi tangis/yang esok
kering, melainkan bertambah miris.”. Kenapa justru ketika kemerdekaan (sudah)
terhampar, …tangis… (malah) bertambah miris? Di puisi ini
saya mendengar ajakan supaya orang membebasakan diri mereka dari kesedihan yang
berlebihan, untuk menghadapi kematian sebagai kenyataan biasa, dan tak
mendewakan emosi dan sentimentalitas. Namun saya juga mendengar seruan untuk
tindak masokis pada “Bagikanlah maut…, agar … kematian menjadi resepsi.”.
Ini aneh. Husen Arifin lalu melanjutkan ‘petuah’nya, kali ini tentang cinta.
Kita kembali disuguhi permainan bunyi, juga konjungsi “tapi” yang
anehnya mempertentangkan pesona cinta dengan rindu yang basah, diakhiri dengan
baris kontemplatif “Di surga, kita masih mengingat apa yang terbit sehabis
gelap.”.
perempuan Tionghoa dua bola matanya
seperti bulan sabit
seolah olah aku menjadi burung pipit
mengerling dan menyunting malam
malam menepis daun-daun layu
menadah rindu-rindu di reranting pohon randu
aku menghapus mimpi-mimpi burukku
begitu dua bola matanya mengecup pada tidurku
pada senandung bayangku
dan aku melayari dua bola mata itu
tiap waktu tiap mau
meladang pada Tuhanku [sic.]
Puisi terakhir yang saya kutip ini berjudul “Dua Bola
Mata Perempuan Tionghoa”, merupakan puisi yang paling saya sukai di antara
puisi Husen Arifin yang lain. Puisi ini relatif konsisten dan tak carut
konstruksinya. Kita bisa menyaksikan dari awal hingga akhir pembicaraan
mengenai perempuan Tionghoa ini tak mengalami interupsi destruktif. Saya
menghitung terdapat hanya dua kejanggalan, pertama (sekali lagi) mengenai
reduplikasi, kenapa kata “seolah olah” tak diberi tanda hubung sementara
tiga kata yang lain diberi tanda hubung? kedua, (namun saya tak yakin semua
pembaca bingung seperti saya) kenapa aku-lirik menganalogikan dirinya sebagai
“burung pipit”? dan apa korelasinya dengan bulan sabit?
Jika Mashuri mengatakan “Puisi-puisi Husen
Arifin memang tak lagi berkutat dengan ihwal teknik perpuisian, karena ia sudah
cukup mahir.”, maka saya sebaliknya mengatakan Husen Arifin masih sangat
perlu memperbaiki teknik menulisnya. Sebab saya melihat dia masih
terombang-ambing di antara gelombang romantisme ala Pujangga Baru dan
posmodernisme. Dia harus segera memutuskan hendak berdiri di sisi mana.
Romantisme berarti konvergensi, posmodernisme sebaliknya berarti divergensi.
Masing-masing melibatkan implikasi teknis yang nyaris bertolak-belakang.
Koherensi, fokus, dan konsistensi adalah contoh ihwal teknis yang harus
dibenahi jika ‘jalan’ romantisme yang diambil. Sedang posmodernisme bisa
dicapai dengan penghancuran secara sengaja atas pilar-pilar romantisme
tersebut. Atau tentu akan menggembirakan semua pihak jika Husen Arifin mampu
memunculkan isme yang betul-betul baru. Melihat bahwa usianya belum sempurna 23
tahun saya percaya dengan usaha yang militan semua itu bukan perkara yang
mustahil. Semoga.
Blitar, 25 Desember 2012