Jumat, 25 Januari 2013

PEREMPUAN PERANTAUAN (TERBIT DI LOMBOK POST, 13-1-2013)


Perempuan Perantauan


Hujan di tengah gesekan-gesekan tubuh orang-orang busway merah, pedagang kaki lima di terminal yang bertahan di genangan air setinggi satu meter hampir mendekati lapaknya, ibu tua dan anak kecil digendongan memainkan alat musik seadanya di lampu merah. Suasana yang biasa di kota. Mereka menjadi nafas-nafas kota yang setia.
Dan aku masih meratapi langit malam. Bersandar di tiang listrik sambil meremukkan tetanah, melempari sesalku, menepuk-meremuk lagi tanah. Airmata limbah. Ingin kubunuh diri saja dan mati di tengah-tengah tumpukan orang-orang pulang sehabis dari kerja. Mereka pasti membawaku pulang ke rumah. Ke desaku yang ibu bilang seperti jannah. Sementara tetangga-tetanggaku tak tahu kalau aku mati karena gendang kewanitaanku pecah.
Aku baru menjadi perantau sehabis hari raya. Di tengah perjalanan, lelaki bertubuh kekar, memakai sabuk hitam, membuatku hilang impian. Perempuan sepertiku menjadi tumbal, yang terkena keserakahan orang-orang kota. Dan sia-sia aku sebagai perantau yang ditunggu-tunggu ibu jika kelak pulang, impian yang mana yang sanggup aku wujudkan?
Aku ingat. Aku tahu wajah lelaki itu. Bukankah ia yang selama ini mengasuhku? Aku mengenali benar lelaki yang memecah masa depanku.
***
“Aku sendirian aja, Bu!” ujarku sembari mengemasi barang-barang.
“Jangan, Nak! Ayah akan menemanimu,” ibu membantuku di kamar.
“Gak mau, Bu!”
“Kenapa, Nak? Bukannya demi kebaikanmu juga ada yang menjaga keselamatanmu.” Tegas ibu memandangiku.
Kami sejenak diam.
“Baiklah. Aisyah mau.” Dengan terpaksa kuterima. Agar ibu suka.
Aku baru memulai ingin mewujudkan mimpi-mimpi ibuku dan keluargaku. Sebagai anak tunggal dan perempuan, aku berusaha ingin membahagiakannya. Agar aku tak hanya menjadi perempuan yang sia-sia di mata senjanya. Aku tak ingin mengecewakan di sisa hidup ibu.
Dengan selalu menemaninya, aku merasa dekat. Aku seperti sesosok anak yang ingin selalu dekat. Tak ingin meraih segala kesedihan, tapi aku ingin senyum kebahagiaan ibu merekah bagai bunga. Kebaktian dan kasih sayangku pada ibu. Meskipun aku tetap tak direstui ibu untuk merantau.
Bagi ibu, perempuan merantau adalah hal aneh paling tabu. Tidak pernah perempuan satu pun di desanya merantau ke kota, mencari penghidupan sendiri di sana. Kekhawatiran ibu adalah doa bagiku. Namun dengan kondisi ibu yang harus tidur di kasur menjalani masa tua, sementara ayah lebih senang di luar rumah. Aku berpikir ulang. Aku merantau atau membiarkan ibu telantar.
Walaupun harus menanggung beban dan tak kuasa menahan sedih, aku mesti meyakinkan ibu kalau aku akan baik-baik saja dan tak kekurangan apapun.
***
“Karena dia cantik.” Ucap lelaki busway berperut buncit.
“Benar. Lelaki mana yang tidak suka dengannya.” Ujarnya kembali.
“Lihat itu, lelaki tua di sebelahnya. Benar-benar perempuan cantik. Sungguh beruntung lelaki tua itu.” Timpal perempuan yang menggendong anak.
Mata penumpang busway merah kini tertuju kepadaku. Mereka melihatku dengan telisik dua matanya. Aku seperti terhakimi oleh mereka. Dan lelaki tambun itu semakin tajam dengan dua matanya mengarah ke tubuhku. Padahal tubuhku bukan tubuh yang terlahirkan dari kota. Ayahku, ia bersama-sama penumpang lainnya. Menjadikanku wayang di sebuah pertunjukan. Menunjukkan kalau ia sedang mengintaiku juga.
Ia merangkumnya  malam ini. Ia yang menghabiskan liar jiwanya. Ia telah merusak mimpi ibu. Ia merasa telah memenangkan perlombaan dan berteriak lantang. Pemenangnya adalah ayahku. Ayah yang mencoba menyayangiku sedari kecil. Betapa buasnya melebihi serigala-serigala dan babi hutan.
“Kau apakan perempuan itu?” tanya lelaki tambun itu.
“Aku ayahnya.”
Dan aku seperti tertindih gajah. Ayah yang melukai malamku. Aku tak sanggup melarikan diri. Berlari dari ayah sama saja mencari mati. Sebab ia benar-benar mengancam dan menegaskannya dengan dendam. Apa yang telah menjadi pikirannya?
Sampai-sampai aku dijerat dengan kalimat-kalimat luka. Ia menghukumku dengan ketegasannya akan membuangku ke kota. Agar dibelai-belai purnama dan lelaki kota. Entahlah, luka yang dilukiskannya seperti luka ibu kepadanya sebelum aku terlahir paksa di dunia. Ia yang membuat ibu menjadi cacat selamanya. Seperti tak ada sesal di lubuk hati terdalamnya. Mustahil, ia bertaubat. Aku meringkuk. Setelah ia menjadi lelaki kota dan melampiaskan simbol kejantanannya. Aku tunduk. Aku membiarkan malam ini tanpa ada yang merembulan dan membintang. Hitam.
***
Ibu mendekapku erat. Ia merasa kalah dengan cacatnya. Sebab ia telah membiarkan anak perempuan tunggalnya akan mengelana. Tak tentu arah. Tak tentu pula nanti ibu mendapat kabarku.
“Apa ibu khawatir denganku nanti?”
“Iya. Nak! Ibu selalu memohon kepada Tuhan, agar kamu terjaga oleh-Nya. Di kota itu tidak sembarang orang dapat bertahan. Apalagi perempuan sepertimu.”
“Aku akan selalu menjaga diri. Ayah akan menemaniku kan, Bu?”
“Ya. Ayahmu yang mengantarkanmu ke kota sampai kamu dapat kerja dan mendapat tempat tinggal yang layak. Agar tak seorang pun melecehkan kehormatanmu, Nak.”
“Insya Allah. Bu!”
Kami serasa tidak ingin melepas. Tangis kami menderu. Menghitung waktu dengan dekapan. Menggemakan kerinduan paling dalam. Inilah pelepasan, antara yang tak merelakan dan yang merelakan. Seperti kenangan pada pertemuan. Dan ibuku, ia selalu mengajariku kesabaran. Tidak mengeluh pada keadaan. Tidak menjadi bagian dari orang-orang yang seribu kali memberi alasan dan menjauh dari kenyataan.
Dan waktu semakin mendekat. Angin semakin merayap. Meluluhkan ketegaran ibu. Membuatku tak berdaya meresapi segala ucapan. Aku beranjak dari kamar, melewati ruang tamu, melewati bunga-bunga yang setiap hari kusiram, melewati halaman.
“Aku merantau dulu, Bu!” bisikku ke telinga ibu. 
Ia masih menatapku. Ia belum merelakanku pergi. Ia merapatkan peluknya untukku. Dua jam kami mengharu biru.
***
Perjalanan belum sampai ke tujuan. Aku mengenali lelaki kota itu. Lelaki yang buas dan telah membuatku cacat seperti ibu. Benar-benar hina. Dan itu telah terjadi padaku. Dia ayahku, yang seharusnya membuat perjalananku tenang dam nyaman. Akan tetapi ia telah menghancurkan segala yang ingin kuimpikan di kota.
Kota bagi perempuan adalah penghabisan. Kalau orang di sekitar bisa saja menjadi pembunuh masa depan. Ibu mendapat berita pagi tentang perempuan yang diperkosa ayahnya sendiri di busway merah menuju kota bakda hari raya. Ah, Ibu, itu anakmu! Kata tetangga yang sedang menonton televisi di pagi hari dalam hujan yang deras ini.
Malang, 2011