Perempuan
Perantauan
Hujan di tengah
gesekan-gesekan tubuh orang-orang busway merah, pedagang kaki lima di terminal yang bertahan di genangan air setinggi
satu meter hampir mendekati lapaknya, ibu tua dan anak kecil digendongan memainkan
alat musik seadanya di lampu merah. Suasana yang biasa di kota. Mereka menjadi
nafas-nafas kota yang setia.
Dan aku masih meratapi
langit malam. Bersandar di tiang listrik sambil meremukkan tetanah, melempari
sesalku, menepuk-meremuk lagi tanah. Airmata limbah. Ingin kubunuh diri saja
dan mati di tengah-tengah tumpukan orang-orang pulang sehabis dari kerja.
Mereka pasti membawaku pulang ke rumah. Ke desaku yang ibu bilang seperti jannah. Sementara tetangga-tetanggaku
tak tahu kalau aku mati karena gendang kewanitaanku pecah.
Aku baru menjadi
perantau sehabis hari raya. Di tengah perjalanan, lelaki bertubuh kekar,
memakai sabuk hitam, membuatku hilang impian. Perempuan sepertiku menjadi
tumbal, yang terkena keserakahan orang-orang kota. Dan sia-sia aku sebagai
perantau yang ditunggu-tunggu ibu jika kelak pulang, impian yang mana yang
sanggup aku wujudkan?
Aku ingat. Aku tahu
wajah lelaki itu. Bukankah ia yang selama ini mengasuhku? Aku mengenali benar
lelaki yang memecah masa depanku.
***
“Aku sendirian aja,
Bu!” ujarku sembari mengemasi barang-barang.
“Jangan, Nak! Ayah akan
menemanimu,” ibu membantuku di kamar.
“Gak mau, Bu!”
“Kenapa, Nak? Bukannya
demi kebaikanmu juga ada yang menjaga keselamatanmu.” Tegas ibu memandangiku.
Kami sejenak diam.
“Baiklah. Aisyah mau.”
Dengan terpaksa kuterima. Agar ibu suka.
Aku baru memulai ingin
mewujudkan mimpi-mimpi ibuku dan keluargaku. Sebagai anak tunggal dan
perempuan, aku berusaha ingin membahagiakannya. Agar aku tak hanya menjadi
perempuan yang sia-sia di mata senjanya. Aku tak ingin mengecewakan di sisa
hidup ibu.
Dengan selalu
menemaninya, aku merasa dekat. Aku seperti sesosok anak yang ingin selalu
dekat. Tak ingin meraih segala kesedihan, tapi aku ingin senyum kebahagiaan ibu
merekah bagai bunga. Kebaktian dan kasih sayangku pada ibu. Meskipun aku tetap
tak direstui ibu untuk merantau.
Bagi ibu, perempuan
merantau adalah hal aneh paling tabu. Tidak pernah perempuan satu pun di desanya
merantau ke kota, mencari penghidupan sendiri di sana. Kekhawatiran ibu adalah
doa bagiku. Namun dengan kondisi ibu yang harus tidur di kasur menjalani masa
tua, sementara ayah lebih senang di luar rumah. Aku berpikir ulang. Aku
merantau atau membiarkan ibu telantar.
Walaupun harus
menanggung beban dan tak kuasa menahan sedih, aku mesti meyakinkan ibu kalau
aku akan baik-baik saja dan tak kekurangan apapun.
***
“Karena dia cantik.”
Ucap lelaki busway berperut buncit.
“Benar. Lelaki mana
yang tidak suka dengannya.” Ujarnya kembali.
“Lihat itu, lelaki tua
di sebelahnya. Benar-benar perempuan cantik. Sungguh beruntung lelaki tua itu.”
Timpal perempuan yang menggendong anak.
Mata penumpang busway merah
kini tertuju kepadaku. Mereka melihatku dengan telisik dua matanya. Aku seperti
terhakimi oleh mereka. Dan lelaki tambun itu semakin tajam dengan dua matanya
mengarah ke tubuhku. Padahal tubuhku bukan tubuh yang terlahirkan dari kota.
Ayahku, ia bersama-sama penumpang lainnya. Menjadikanku wayang di sebuah
pertunjukan. Menunjukkan kalau ia sedang mengintaiku juga.
Ia merangkumnya malam ini. Ia yang menghabiskan liar jiwanya.
Ia telah merusak mimpi ibu. Ia merasa telah memenangkan perlombaan dan
berteriak lantang. Pemenangnya adalah ayahku. Ayah yang mencoba menyayangiku
sedari kecil. Betapa buasnya melebihi serigala-serigala dan babi hutan.
“Kau apakan perempuan
itu?” tanya lelaki tambun itu.
“Aku ayahnya.”
Dan aku seperti tertindih
gajah. Ayah yang melukai malamku. Aku tak sanggup melarikan diri. Berlari dari
ayah sama saja mencari mati. Sebab ia benar-benar mengancam dan menegaskannya
dengan dendam. Apa yang telah menjadi pikirannya?
Sampai-sampai aku
dijerat dengan kalimat-kalimat luka. Ia menghukumku dengan ketegasannya akan
membuangku ke kota. Agar dibelai-belai purnama dan lelaki kota. Entahlah, luka
yang dilukiskannya seperti luka ibu kepadanya sebelum aku terlahir paksa di
dunia. Ia yang membuat ibu menjadi cacat selamanya. Seperti tak ada sesal di
lubuk hati terdalamnya. Mustahil, ia bertaubat. Aku meringkuk. Setelah ia
menjadi lelaki kota dan melampiaskan simbol kejantanannya. Aku tunduk. Aku
membiarkan malam ini tanpa ada yang merembulan dan membintang. Hitam.
***
Ibu mendekapku erat. Ia
merasa kalah dengan cacatnya. Sebab ia telah membiarkan anak perempuan
tunggalnya akan mengelana. Tak tentu arah. Tak tentu pula nanti ibu mendapat
kabarku.
“Apa ibu khawatir
denganku nanti?”
“Iya. Nak! Ibu selalu
memohon kepada Tuhan, agar kamu terjaga oleh-Nya. Di kota itu tidak sembarang
orang dapat bertahan. Apalagi perempuan sepertimu.”
“Aku akan selalu
menjaga diri. Ayah akan menemaniku kan, Bu?”
“Ya. Ayahmu yang
mengantarkanmu ke kota sampai kamu dapat kerja dan mendapat tempat tinggal yang
layak. Agar tak seorang pun melecehkan kehormatanmu, Nak.”
“Insya Allah. Bu!”
Kami serasa tidak ingin
melepas. Tangis kami menderu. Menghitung waktu dengan dekapan. Menggemakan
kerinduan paling dalam. Inilah pelepasan, antara yang tak merelakan dan yang
merelakan. Seperti kenangan pada pertemuan. Dan ibuku, ia selalu mengajariku
kesabaran. Tidak mengeluh pada keadaan. Tidak menjadi bagian dari orang-orang
yang seribu kali memberi alasan dan menjauh dari kenyataan.
Dan waktu semakin
mendekat. Angin semakin merayap. Meluluhkan ketegaran ibu. Membuatku tak
berdaya meresapi segala ucapan. Aku beranjak dari kamar, melewati ruang tamu,
melewati bunga-bunga yang setiap hari kusiram, melewati halaman.
“Aku merantau dulu,
Bu!” bisikku ke telinga ibu.
Ia masih menatapku. Ia belum
merelakanku pergi. Ia merapatkan peluknya untukku. Dua jam kami mengharu biru.
***
Perjalanan belum sampai
ke tujuan. Aku mengenali lelaki kota itu. Lelaki yang buas dan telah membuatku
cacat seperti ibu. Benar-benar hina. Dan itu telah terjadi padaku. Dia ayahku, yang
seharusnya membuat perjalananku tenang dam nyaman. Akan tetapi ia telah menghancurkan
segala yang ingin kuimpikan di kota.
Kota bagi perempuan
adalah penghabisan. Kalau orang di sekitar bisa saja menjadi pembunuh masa
depan. Ibu mendapat berita pagi tentang perempuan yang diperkosa ayahnya
sendiri di busway merah menuju kota bakda
hari raya. Ah, Ibu, itu anakmu! Kata tetangga yang sedang menonton televisi di
pagi hari dalam hujan yang deras ini.
Malang, 2011