Pada malam yang hening, aku mengetuk pintu rumah Bening. Hei, Bening! Apakah
kamu menjelma rembulan malam ini. Aku menunggumu datang. Bisakah cahayamu
menerangi jalan ke rumahmu?
Dengan tergesa-gesa suara kaki itu mendekati pintu, dan harapanku adalah
Bening tersenyum sambil memelukku, mengatakan bahwa ia sudah menjahit cintaku
di dalam hatinya yang tadi pagi merapuh.
“Bening pergi, Nak!” ibu Bening menjelaskan kepergiannya.
“Aku baru saja membawakan ini, Bu!”
“Ibu tahu jika Bening memang sangat mencintaimu,” ujarnya. “tapi Bening tidak
memberikan penjelasan apapun tentang kepergiannya lima hari yang lalu, Nak!”
Aku pun ingin seperti kertas terbang bebas. Cinta yang tak tersampaikan
ini barangkali mengajariku untuk tahu, jika Bening pasti memiliki alasan untuk
jauh dariku.
Bening, akankah aku masih dapat memasuki pintu cintamu seperti kita
memainkan gitar dan menyanyikan lagu di bawah pohon rambutan? Hei Bening, suatu
hari nanti kita memiliki kisah seperti Rama dan Sinta.
Aku selalu menungguimu di depan pintu rumah. Aku telah melukis sketsamu seperti
rembulan. Dan hujan yang datang tak sanggup menyuruhku pergi dari rumahmu. Sementara
ibu Bening melihatku seperti masa mudanya dahulu. [*]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar