Sabtu, 19 Mei 2012

Bulan Merah Hati (Majalah Narodnik, 30 Maret 2012)


Malam kasih sayang atau malam remang-remang. Aku galau bagaimana menyebutnya dan apakah ini hanya perasaanku yang bimbang? Entahlah, sementara aku menunggunya dengan mata berlinang. Bayangkan, dingin di sini menusukku dalam-dalam. Aku terus memandangi langit yang sendiri. Rembulan sendiri. Bintang sendiri. Aku pun sendiri. Aku datang untuk memenuhi janjinya malam ini. Aku penuhi waktuku untuknya di atas bulan merah hati. 
Ingatkah ia tentang suasana kota Malang di persimpangan jalan bersamaku? Saat itu ia ucapkan kasih sayang paling mengharukan hingga aku sangat riang. Betapa tidak, ia selalu membawaku pada ruang bernama pernikahan. Ia katakan untukku singgahan yang diidamkan oleh perempuan manapun, termasuk aku.
Itulah saat aku benar-benar terjaga oleh lelaki paling kusayang. Aku tiada lagi berandai mendapat apapun kecuali kasih sayangnya. Lelaki yang selalu membuatku jika terbangun dari subuh aku buatkan teh hangat dan menghidangkan makanan ringan. Oh, inikah kesungguhannya sampai kumenantinya sekarang!
Aku tidak sabar ingin menjadi bagian dari hidupnya. Aku terlalu terpana dan sangat membutuhkan kehadirannya. Malam yang lengah bila aku tak bisa mendapat suaranya, atau aku kehilangan dari kata-kata yang ia kirimkan lewat pesan handphone.
Aku sedang kasmaran, mungkin saja. Tapi aku tetaplah perempuan yang membutuhkan kehadiran seorang lelaki dan lelaki itu yang telah menjawab seluruh kerinduanku selama ini. Sehingga tak ada alasan bagiku untuk mengingkarinya. Walaupun semalam penuh aku harus menunggunya.
Meski dulu, aku hanya pemalu untuk sekadar kenal dengan lelaki pun aku tersipu dan terburu-buru menutup pintu. Aku seperti ketakutan ataupun enggan tak ingin menemui makhluk berwujud lelaki.
Lantaran satu hal, orang tuaku menginginkanku nikah muda. Sementara aku tak siap dengan kondisi itu. Aku ingin menjalani masa muda usiaku dengan bekerja tanpa harus terkurung oleh sesuatu yang sakral. Dan aku tak mengiyakan permintaan orang tuaku, terutama bapakku.
“Menikahlah dulu. Baru bekerja.” Kata bapakku begitu kerasnya.
“Tapi Pak, Riana mau kerja dulu, biar beban keluargaku nantinya tidak terpikulkan oleh bapak,” belaku dengan sungguh-sungguh.
“Sudahlah. Ikuti kata orang tua,”
“Biarkan Riana menentukan jalan sendiri, Pak!”
Pertengkaran semacam itu terkadang membuatku ragu melangkah, dan sampai tak menyapa Bapak di rumah. Entahlah, aku merasa sungkan dan sakit. Sungkan lantaran belum juga menerima siapapun lelaki dan sakit karena sering dijadikan bahan gunjingan oleh Bapak dan tetangga lainnya.
Semacam duri-duri yang menusuk ke kakiku. Barang sebentar saja, aku sudah mendapat berita kepergian dari Bapak dan tinggallah aku dengan Emak. Seusai itu, aku memecah sepi dengan ayat-ayat ilahi. Mungkin bisa membantuku untuk terus menegar dan menegap hati.
Bila perlu aku ingin segera mencari pasangan hidup karena Bapak telah meninggalkanku. Aku tak sanggup untuk diam sendiri jika kebahagiaan ini aku tak pernah dapat. Apa mungkin karena Bapak? Tidak, aku sudah dewasa dan berhak mendapat kasih sayang seorang lelaki. Benarkah lelaki sekarang mencari kedewasaan seorang perempuan dan tidak mencari kecantikan semata?
Ketiadaan Bapak membuatku sadar bahwa aku harus segera mendapat pasangan. Lelaki yang aku idamkan dan ia harus selera denganku. Meski tak mudah, aku tetap berusaha mendapatkan yang terbaik.
Sampai kemudian, aku bertemu dengan lelaki bagus, lelaki serupa planet Venus. Ah, bayanganku terbawa suasana ketika pertemuan pertama yang mempesona. Kesanku padanya, kewibawaan dan ketenangannya memikat hatiku dan mengalihkan segala perhatianku padanya.
Kuresapi hari-hari perkenalan itu. Ia selalu mengirimiku bunga-bunga. Tak jarang, menghabiskan pulsa teleponnya untukku saja. Ini tidak biasa bagiku. Atas pengorbanannya itulah aku yakin jika masa depanku ada di pundaknya.
“Mungkinkah kasih sayangmu itu terus tumbuh sampai kita benar-benar bersatu?”
“Kasih sayangku pasti tumbuh di antara cinta dan rindumu. Rindui saja aku, maka aku cintaimu.” Jawabnya. Tentu aku begitu pegang erat kata itu. Sungguh telah membawaku pada nuansa cinta yang abadi. Lelaki yang berwibawa sekali. Aku kagum dengan kesetiaannya.  
Lewat dua bulan, ia ingin ikrarkan kesetiaan itu. Ia ingin menghadap ke Emak untuk meminangku. Sebagai keseriusannya itu, ia bilang untuk menunggunya di malam yang penuh kasih sayang.
“Kenapa mesti malam hari?”
“Iya. Malam hari menandakan keabadian.”
“Bukankah kita abadi dalam hati?”
“Lebih dari itu. Hidup kita selalu terjal untuk dijalani. Maka di malam hari semoga kita memiliki langkah yang sama,”
“Maksudnya?”
“Kita ganjilkan malam ini dari dua hati menjadi satu antara aku dan kamu punya cinta yang sama.”
“Dengan apakah kita ganjilkan malam ini?”
“Dengan hati kita.”
Sesudah itu, aku tersipu. Ia benar-benar memikatku dengan cara yang berbeda. Seolah ia tahu betapa aku membutuhkannya. Sikapnya pun begitu tegas. Kali ini aku tak salah pilih lelaki. Sementara Emak hanya memasrahkan itu padaku. Emak menuruti apa yang menjadi pilihan terbaik dalam hidupku.
Emak tak seperti almarhum Bapak. Emak sudah tahu bahwa aku tak ingin dipaksakan kehendakku. Karena itu, Emak cukup mendukung apa yang menjadi keinginanku, termasuk hubunganku dengan lelaki.
“Doa Emak selalu untukmu, Nak!” ujarnya. Terharu.
“Jadi, Riana boleh memilih pasangan hidup sendiri kan, Mak?”
“Iya, asalkan jangan terlalu lama. Dan Bapak bisa bangga padamu, Nak!”
“Insya Allah, Mak!”
Aku bangga. Emak tidak mengharapkan sesuatu yang aneh-aneh terutama tentang penilaian lelaki yang akan kudekati, kucintai dan kusuamikan sendiri. Meskipun Emak sebetulnya berharap menimang cucu sebelum mengikuti Bapak.
“Kapan Emak bisa menimang cucu?”
“Ya, sebentar lagi. Emak sabar aja,”
“Asal tidak terlalu lama. Biar Bapak senang, dan Emak juga dapat tenang”
“Emak percaya pada Riana. Emak tak perlu risau.”
Aku yakini jika lelaki pilihanku segera melabuhkan pinangan. Kerap dalam hatiku bertanya kapankah semua ini berlalu dengan kebahagiaan. Hati terdalam selalu berasa seperti tak ingin menjadi perawan tua. Lelakiku yang kutunggu di malam yang separuh rembulan ini. Akankah bahagia itu menyerbuku? Aku menunggu lelaki yang menjadi pilihan hidupku.
Tiba-tiba dari kejauhan, seseorang berlari ke arahku. Tergopoh-gopoh, terdengar sekali kalau ia ingin memberikan kabar penting untukku. Lalu ia menjulurkan sepucuk surat dan entah ia langsung berlari lagi. Begitu kubaca, sesekali tetesan airmataku terjatuh tak tertahankan. Betapa sedihku berulang, kesepianku berganda, Emak sudah menyusul Bapak. Sementara aku ratapi diri, lelakiku tak kunjung datang kesini.
Bayangkan, dingin di sini menusukku dalam-dalam. Aku terus memandangi langit yang sendiri. Rembulan sendiri. Bintang sendiri. Aku pun sendiri. Aku datang untuk memenuhi janjinya malam ini. Aku penuhi waktuku untuknya di atas bulan merah hati. Masihkah cintaku berikrar di hatimu, Sayang? (*)

Malang, 14 Februari 2011

Tidak ada komentar: