Malam
kasih sayang atau malam remang-remang. Aku galau bagaimana menyebutnya dan
apakah ini hanya perasaanku yang bimbang? Entahlah, sementara aku menunggunya
dengan mata berlinang. Bayangkan, dingin di sini menusukku dalam-dalam. Aku
terus memandangi langit yang sendiri. Rembulan sendiri. Bintang sendiri. Aku
pun sendiri. Aku datang untuk memenuhi janjinya malam ini. Aku penuhi waktuku untuknya
di atas bulan merah hati.
Ingatkah
ia tentang suasana kota Malang di persimpangan jalan bersamaku? Saat itu ia ucapkan
kasih sayang paling mengharukan hingga aku sangat riang. Betapa tidak, ia selalu
membawaku pada ruang bernama pernikahan. Ia katakan untukku singgahan yang
diidamkan oleh perempuan manapun, termasuk aku.
Itulah
saat aku benar-benar terjaga oleh lelaki paling kusayang. Aku tiada lagi
berandai mendapat apapun kecuali kasih sayangnya. Lelaki yang selalu membuatku
jika terbangun dari subuh aku buatkan teh hangat dan menghidangkan makanan
ringan. Oh, inikah kesungguhannya sampai kumenantinya sekarang!
Aku
tidak sabar ingin menjadi bagian dari hidupnya. Aku terlalu terpana dan sangat
membutuhkan kehadirannya. Malam yang lengah bila aku tak bisa mendapat
suaranya, atau aku kehilangan dari kata-kata yang ia kirimkan lewat pesan
handphone.
Aku
sedang kasmaran, mungkin saja. Tapi aku tetaplah perempuan yang membutuhkan
kehadiran seorang lelaki dan lelaki itu yang telah menjawab seluruh kerinduanku
selama ini. Sehingga tak ada alasan bagiku untuk mengingkarinya. Walaupun semalam
penuh aku harus menunggunya.
Meski
dulu, aku hanya pemalu untuk sekadar kenal dengan lelaki pun aku tersipu dan
terburu-buru menutup pintu. Aku seperti ketakutan ataupun enggan tak ingin
menemui makhluk berwujud lelaki.
Lantaran
satu hal, orang tuaku menginginkanku nikah muda. Sementara aku tak siap dengan
kondisi itu. Aku ingin menjalani masa muda usiaku dengan bekerja tanpa harus
terkurung oleh sesuatu yang sakral. Dan aku tak mengiyakan permintaan orang
tuaku, terutama bapakku.
“Menikahlah
dulu. Baru bekerja.” Kata bapakku begitu kerasnya.
“Tapi
Pak, Riana mau kerja dulu, biar beban keluargaku nantinya tidak terpikulkan
oleh bapak,” belaku dengan sungguh-sungguh.
“Sudahlah.
Ikuti kata orang tua,”
“Biarkan
Riana menentukan jalan sendiri, Pak!”
Pertengkaran
semacam itu terkadang membuatku ragu melangkah, dan sampai tak menyapa Bapak di
rumah. Entahlah, aku merasa sungkan dan sakit. Sungkan lantaran belum juga
menerima siapapun lelaki dan sakit karena sering dijadikan bahan gunjingan oleh
Bapak dan tetangga lainnya.
Semacam
duri-duri yang menusuk ke kakiku. Barang sebentar saja, aku sudah mendapat
berita kepergian dari Bapak dan tinggallah aku dengan Emak. Seusai itu, aku
memecah sepi dengan ayat-ayat ilahi. Mungkin bisa membantuku untuk terus menegar
dan menegap hati.
Bila
perlu aku ingin segera mencari pasangan hidup karena Bapak telah
meninggalkanku. Aku tak sanggup untuk diam sendiri jika kebahagiaan ini aku tak
pernah dapat. Apa mungkin karena Bapak? Tidak, aku sudah dewasa dan berhak
mendapat kasih sayang seorang lelaki. Benarkah lelaki sekarang mencari
kedewasaan seorang perempuan dan tidak mencari kecantikan semata?
Ketiadaan
Bapak membuatku sadar bahwa aku harus segera mendapat pasangan. Lelaki yang aku
idamkan dan ia harus selera denganku. Meski tak mudah, aku tetap berusaha
mendapatkan yang terbaik.
Sampai
kemudian, aku bertemu dengan lelaki bagus, lelaki serupa planet Venus. Ah,
bayanganku terbawa suasana ketika pertemuan pertama yang mempesona. Kesanku
padanya, kewibawaan dan ketenangannya memikat hatiku dan mengalihkan segala
perhatianku padanya.
Kuresapi
hari-hari perkenalan itu. Ia selalu mengirimiku bunga-bunga. Tak jarang,
menghabiskan pulsa teleponnya untukku saja. Ini tidak biasa bagiku. Atas
pengorbanannya itulah aku yakin jika masa depanku ada di pundaknya.
“Mungkinkah
kasih sayangmu itu terus tumbuh sampai kita benar-benar bersatu?”
“Kasih
sayangku pasti tumbuh di antara cinta dan rindumu. Rindui saja aku, maka aku
cintaimu.” Jawabnya. Tentu aku begitu pegang erat kata itu. Sungguh telah
membawaku pada nuansa cinta yang abadi. Lelaki yang berwibawa sekali. Aku kagum
dengan kesetiaannya.
Lewat
dua bulan, ia ingin ikrarkan kesetiaan itu. Ia ingin menghadap ke Emak untuk
meminangku. Sebagai keseriusannya itu, ia bilang untuk menunggunya di malam
yang penuh kasih sayang.
“Kenapa
mesti malam hari?”
“Iya.
Malam hari menandakan keabadian.”
“Bukankah
kita abadi dalam hati?”
“Lebih
dari itu. Hidup kita selalu terjal untuk dijalani. Maka di malam hari semoga
kita memiliki langkah yang sama,”
“Maksudnya?”
“Kita
ganjilkan malam ini dari dua hati menjadi satu antara aku dan kamu punya cinta
yang sama.”
“Dengan
apakah kita ganjilkan malam ini?”
“Dengan
hati kita.”
Sesudah
itu, aku tersipu. Ia benar-benar memikatku dengan cara yang berbeda. Seolah ia
tahu betapa aku membutuhkannya. Sikapnya pun begitu tegas. Kali ini aku tak
salah pilih lelaki. Sementara Emak hanya memasrahkan itu padaku. Emak menuruti
apa yang menjadi pilihan terbaik dalam hidupku.
Emak
tak seperti almarhum Bapak. Emak sudah tahu bahwa aku tak ingin dipaksakan
kehendakku. Karena itu, Emak cukup mendukung apa yang menjadi keinginanku,
termasuk hubunganku dengan lelaki.
“Doa
Emak selalu untukmu, Nak!” ujarnya. Terharu.
“Jadi,
Riana boleh memilih pasangan hidup sendiri kan, Mak?”
“Iya,
asalkan jangan terlalu lama. Dan Bapak bisa bangga padamu, Nak!”
“Insya
Allah, Mak!”
Aku
bangga. Emak tidak mengharapkan sesuatu yang aneh-aneh terutama tentang
penilaian lelaki yang akan kudekati, kucintai dan kusuamikan sendiri. Meskipun Emak
sebetulnya berharap menimang cucu sebelum mengikuti Bapak.
“Kapan
Emak bisa menimang cucu?”
“Ya,
sebentar lagi. Emak sabar aja,”
“Asal
tidak terlalu lama. Biar Bapak senang, dan Emak juga dapat tenang”
“Emak
percaya pada Riana. Emak tak perlu risau.”
Aku
yakini jika lelaki pilihanku segera melabuhkan pinangan. Kerap dalam hatiku
bertanya kapankah semua ini berlalu dengan kebahagiaan. Hati terdalam selalu
berasa seperti tak ingin menjadi perawan tua. Lelakiku yang kutunggu di malam
yang separuh rembulan ini. Akankah bahagia itu menyerbuku? Aku menunggu lelaki
yang menjadi pilihan hidupku.
Tiba-tiba
dari kejauhan, seseorang berlari ke arahku. Tergopoh-gopoh, terdengar sekali
kalau ia ingin memberikan kabar penting untukku. Lalu ia menjulurkan sepucuk
surat dan entah ia langsung berlari lagi. Begitu kubaca, sesekali tetesan
airmataku terjatuh tak tertahankan. Betapa sedihku berulang, kesepianku
berganda, Emak sudah menyusul Bapak. Sementara aku ratapi diri, lelakiku tak
kunjung datang kesini.
Bayangkan,
dingin di sini menusukku dalam-dalam. Aku terus memandangi langit yang sendiri.
Rembulan sendiri. Bintang sendiri. Aku pun sendiri. Aku datang untuk memenuhi
janjinya malam ini. Aku penuhi waktuku untuknya di atas bulan merah hati. Masihkah
cintaku berikrar di hatimu, Sayang? (*)
Malang, 14
Februari 2011