Kamis, 15 Maret 2012

Konde Penari Tugu (Fiksimini Juara I FLP Malang Raya)


Aku berlari menuju ibu. Orang-orang tertawa dan memuji lalu menyentilnya. Sesekali ada yang membicarakan Ibu akan tubuhnya.
“Lihat tubuhnya. Aku suka,” kata lelaki tambun.
“Manis juga, ya!” ujar temannya.
Betapa malam ini memerihkan hatiku. Sedari tadi tangis menetes di pipiku. Suasana meriah tak sanggup membawaku pada uraian luka yang sangat pilu. Ibuku, ah, sepanjang keramaian pun lelaki menyentuhnya. Ada saweran, ada pujian, ada ucapan sayang.
***
“Bukankah kita diajarkan sopan santun, Bu?” ucapku saat melihat ibu memperbaiki sanggulnya, konde kesayangannya.
“Sudahlah. Zaman sudah berubah, Nak! Kita harus mengikutinya, jika kita tidak ingin ditindas dan diperas,” jawab Ibu yang hampir sempurna cantiknya.
Aku melihat konde yang dipakai ibu. Konde yang menjadi mahar ayah kepada ibu dulu. Yang sangat diagungkan oleh orang-orang zaman dulu. Saat itu, ibu menjadi cantik nan peri.
Seperti di dinding rumah, ibu tampak anggun dengan konde itu. Ibu, betapapun malam ini kau menjadi perempuan yang dimiliki oleh lelaki-lelaki itu, aku menginginkan ibu yang dulu. Ibu yang selalu khusyu’ menceritakan kisah-kisah kotaku, muasal tentang Brawijaya, kelokan rindu perempuan yang menunggu suaminya dari perang, ataupun Tugu yang menjadi kenangan bagi ibu dan ayah saat pacaran. Aku rindu nyanyian itu ibu, nyanyian yang sesekali membuatku tangis di waktu gerimis ada di pelipis.
Malam semakin ranum, dan ibu sungguh bukan lagi mengiris mata hatiku tapi begitu magis. Ibu seperti memantra, seolah-olah decak kagum penonton duhai ramainya.
“Ibu Zulaikha, kan?” ada perempuan di dekatku seperti mengenali sosok ibu.
“Oh, kenapa ia bisa menjadi penari di Tugu?” temannya saling bertanya.
Deg! Aku menjadi tersayat-sayat oleh kata tanya itu. Betapa banyak orang-orang, betapa luka menembus ke hatiku.  
***
“Jangan bilang kau tak suka anakku!” tegas ibu, aku mengangguk.
“Ini semua demi hidup kita. Biaya hidup semakin mahal, bagitu juga biaya sekolahmu, ibu tak punya apa-apa. Kemarin, ibu diberhentikan dari sekolah. Ibu tak lagi menjadi guru. Ibu penari di Tugu. Tengoklah ibu kalau malam minggu.”
Aku kembali mengangguk, meskipun perih di dadaku tak kunjung tunai. Aku ingin menangis di kuburan ayah. Aku ingin ceritakan betapa ibu tak lagi seperti dulu. Ayah, apakah kau mendengar suaraku?
***
Sorak sorai menggema. Malam kian ranum dan kulihat ada lelaki yang kukenal. Lelaki yang selama ini kusebut ayah. Ia duduk di deretan terdepan. Penonton bilang ia sebagai pemantra agar para penari segera ndadi dan menari lihai, anggun.
Seketika, lelaki itu menuang mantra dan menghadap ke arah penonton. “Kami suami-istri, sepasang kekasih yang mencintai, nama penari ini, Zulaikha.”
Gerimis kian tipis, tangisku begitu picis. Ayah dan ibuku saling memperlihatkan kemesraan di sebuah Tugu. Sedang aku menjadi anaknya yang paling histeris. Adakah konde yang bisa kupakai kelak? Jika ibu mengalamatkan cintanya pada sebuah perayaan yang tiap laki-laki mampu menikmati kemolekan dari tubuhnya. Ah, ibu! (*)

Aula Skodam, 6/05/2011

Tidak ada komentar: