Senin, 01 Februari 2016

Mental Bertanya : Meloloskan Diri dari Ketakutan Hidup



Mental Bertanya : Meloloskan Diri dari Ketakutan Hidup

Kehidupan itu banyak memberikan sebuah tanda-tanda. Setiap kali tanda itu di depan mata kadang saya tak mampu menebaknya dan memberikan jalan solusinya.  
Termasuk ketika saya malu bertanya ketika saya tidak mengerti bagaimanakah cara mendapatkan kehidupan yang lebih baik?
Perjalanan hidup saya saat itu, saya percaya pada diri sendiri. Saya hanya meyakini tentang kepercayaan saya. Di suatu hari, saya tersesat hanya karena saya pura-pura tahu jalan ke rumah kos saya.
Saat saya naik angkot dari terminal, saya menebak sendiri. Setiap angkot punya jalan yang sama. Seringkali saya berpikir, mengapa saya harus duduk di sini? Tapi angkot sudah berangkat.
Lebih dari dua jam, mengapa saya tidak bisa turun dari angkot ini? Rupanya bapak sopir menjelaskan bahwa saya tersesat. Di sini yang saya sesalkan. Kemudian saya menelpon teman saya untuk segera menjemput saya karena saya tidak tahu tempat ini.
Awalnya, saya tetap ngotot dan bersikeras untuk percaya pada diri sendiri. Saya memutuskan untuk mengandalkan diri tanpa bertanya kepada teman atau orang lain. Kemudian inilah kemampuan berpikir saya yang sangat egois.
Saya didesak untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah. Tapi saking percaya diri, saya gagal menuntaskannya. Yang membuat saya langsung tidak mampu berbuat apa-apa.
Sebenarnya saya takut untuk bertanya. Bukan malu bertanya. Karena ketakutan itulah yang membuat saya merasa bahwa apa yang tidak saya ketahui tetap saya merasa tahu segalanya.
Saya takut apa yang hendak saya lakukan. Saya takut teman-teman saya akan menjerumuskan saya ketika saya tidak tahu. Dan saya terus dihantui rasa takut itu.
Di Malang, saya tidak memiliki saudara. Saya kuliah dan tinggal di rumah kos. Saya memiliki berbagai macam karakter teman-teman. Saya tahu mereka mumpuni dalam segala bidang. Saya takut tidak menjadi bagian dari mereka akhirnya saya pura-pura tahu. Saya pura-pura tahu terhadap pelbagai aktivitas di perkotaan. Saya takut jika tidak ambil bagian daripada pengetahuan mereka.
Dua tahun bergelut dengan ketakutan itu, rupanya sangat menyakitkan. Saya introspeksi diri. Saya ingin melawan ketakutan. Saya harus memiliki modal utama. Mental bertanya. Walaupun mereka menyoraki, membully, dan sangat menertawakan saya.
Pelan-pelan saya menikmatinya. Mental bertanya saya awali pada pengerjaan tugas-tugas kuliah, apabila saya tidak paham, saya mendekati dan bertanya kepada teman yang mahir. Hingga akhirnya pada penulisan skripsi.
Skripsi yang saya tuliskan selesai. Berkah dari mental bertanya. Saya selalu bertanya kepada dosen pembimbing skripsi saya. Saya selalu mengandalkan nalar dan mencoba mendapatkan informasi sebanyak mungkin.
Kemungkinan dosen pembimbing skripsi saya marah dan nggak suka tapi saya tidak sedang beradu otot melainkan saya ingin bertanya...
Jika orang yang baik mau melakukan tindakan yang lebih dari yang dituntut pastinya orang tersebut mendapatkan sesuatu yang lebih besar. Sesungguhnya itu tanda kehidupan nyata yang tak sempat saya sadari.
Akhirnya, saya mampu meloloskan diri dari ketakutan hidup saya sampai sekarang.  

Tidak ada komentar: