Mental Bertanya : Meloloskan Diri dari Ketakutan Hidup
Kehidupan itu
banyak memberikan sebuah tanda-tanda. Setiap kali tanda itu di depan mata
kadang saya tak mampu menebaknya dan memberikan jalan solusinya.
Termasuk ketika
saya malu bertanya ketika saya tidak mengerti bagaimanakah cara mendapatkan
kehidupan yang lebih baik?
Perjalanan hidup
saya saat itu, saya percaya pada diri sendiri. Saya hanya meyakini tentang
kepercayaan saya. Di suatu hari, saya tersesat hanya karena saya pura-pura tahu
jalan ke rumah kos saya.
Saat saya naik
angkot dari terminal, saya menebak sendiri. Setiap angkot punya jalan yang
sama. Seringkali saya berpikir, mengapa saya harus duduk di sini? Tapi angkot
sudah berangkat.
Lebih dari dua
jam, mengapa saya tidak bisa turun dari angkot ini? Rupanya bapak sopir
menjelaskan bahwa saya tersesat. Di sini yang saya sesalkan. Kemudian saya
menelpon teman saya untuk segera menjemput saya karena saya tidak tahu tempat
ini.
Awalnya, saya
tetap ngotot dan bersikeras untuk percaya pada diri sendiri. Saya memutuskan
untuk mengandalkan diri tanpa bertanya kepada teman atau orang lain. Kemudian inilah
kemampuan berpikir saya yang sangat egois.
Saya didesak
untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah. Tapi saking percaya diri, saya gagal
menuntaskannya. Yang membuat saya langsung tidak mampu berbuat apa-apa.
Sebenarnya saya
takut untuk bertanya. Bukan malu bertanya. Karena ketakutan itulah yang membuat
saya merasa bahwa apa yang tidak saya ketahui tetap saya merasa tahu segalanya.
Saya takut apa
yang hendak saya lakukan. Saya takut teman-teman saya akan menjerumuskan saya
ketika saya tidak tahu. Dan saya terus dihantui rasa takut itu.
Di Malang,
saya tidak memiliki saudara. Saya kuliah dan tinggal di rumah kos. Saya memiliki
berbagai macam karakter teman-teman. Saya tahu mereka mumpuni dalam segala
bidang. Saya takut tidak menjadi bagian dari mereka akhirnya saya pura-pura
tahu. Saya pura-pura tahu terhadap pelbagai aktivitas di perkotaan. Saya takut
jika tidak ambil bagian daripada pengetahuan mereka.
Dua tahun
bergelut dengan ketakutan itu, rupanya sangat menyakitkan. Saya introspeksi
diri. Saya ingin melawan ketakutan. Saya harus memiliki modal utama. Mental bertanya.
Walaupun mereka menyoraki, membully, dan sangat menertawakan saya.
Pelan-pelan
saya menikmatinya. Mental bertanya saya awali pada pengerjaan tugas-tugas
kuliah, apabila saya tidak paham, saya mendekati dan bertanya kepada teman yang
mahir. Hingga akhirnya pada penulisan skripsi.
Skripsi yang
saya tuliskan selesai. Berkah dari mental bertanya. Saya selalu bertanya kepada
dosen pembimbing skripsi saya. Saya selalu mengandalkan nalar dan mencoba
mendapatkan informasi sebanyak mungkin.
Kemungkinan dosen
pembimbing skripsi saya marah dan nggak suka tapi saya tidak sedang beradu otot
melainkan saya ingin bertanya...
Jika orang
yang baik mau melakukan tindakan yang lebih dari yang dituntut pastinya orang
tersebut mendapatkan sesuatu yang lebih besar. Sesungguhnya itu tanda kehidupan
nyata yang tak sempat saya sadari.
Akhirnya, saya
mampu meloloskan diri dari ketakutan hidup saya sampai sekarang.