PUISI HUSEN ARIFIN
Guru Besar dan Celana
Langitnya II
di ruang tamu
ia bertatap sayu
senja mengekalkan hujan
ia ingin duduk dalam kenangan
bahwa ia pernah menafsir
celananya yang musafir
dan angin menggoyahkan
tubuhnya sempoyongan
di dalam celananya
ada peri-peri bertamasya
mengganti hujan menjadi bianglala
ia enggan menegur
para peri yang bertafakkur
barangkali Tuhan telah menegur
tentang dunia makin ngawur
kini ia tak ingin mencuci
celananya, ia tahu sepi
tak selamanya abadi
Bandung, 2017
Senjakala Keadilan
ia yang mencari ruang
mengalamatkan doa
sementara tangannya
mengetuk pintu demi pintu
hati orang-orang yang tertatih tertipu
tidak henti ia menguatkan
diri berlumur semen di kaki
sampai berhari-hari
ia ingin jalan bernama keadilan
membentang sampai ke desa
menuju rumah petani tua
bukan sekadar kekebalan
orang-orang kota flamboyan
adalah senjakala bagi keadilan
diam-diam menjadi patung
ketika langit tak berwajah
siapa-siapa
Bandung, 2017
Tidak Ada Jendela
Naya
seperti air-air yang pergi
menjadi hujan sepi
langit tak akan kembali
menjadi rumah abadi
hanya engkau pencari
kebahagiaan di malam ini
tubuh menjelma kupu-kupu
tubuh mempesona seluruh
bagai kunang-kunang di kota
semua impian naya
menjadi rumah tua
tidak ada jendela
untuk menengok rumput hijauNya
Bandung, 2017
Proposal Kenangan di
Perantauan
terdampar dalam suasana nyekar
memendam suram sebagai akar
mulanya ia perantau dengan wajah sukar
menerka malam dan pagi yang tawar
ia igau pada susahnya menggelar
bahagia di dinding-dinding kosong yang pudar
bola mata seperti ranting kering tak berbinar
sejatinya kesetiaan pada negeri
ia ucapkan dalam nyala puisi
hingar sebentar lalu menguap sendiri
tak ada lagi untaian picisan
lantaran ia mendekap kekosongan
ia urai lagi semisal ia anak keabadian
ia akan menawarkan proposal kenangan
semula ia perantau, bola matanya
seperti ranting terbakar dan moksa
Bandung, 2017