Rabu, 21 Maret 2012

Kepompong Dua Perempuan (Terbit di Radar Bromo, 18 Maret 2012)


Dia mencintaimu, Fiki. Lelaki itu selalu membayang tentang wajahmu. Anggun. Riang. Kau tersenyum bagai bulan dan cahayanya. Dia mencoba memiliki cintamu, Fiki. Untuk sekali hidupnya. Untuk seumur waktunya. Lantas kau tak ingin dicintainya? Oh, mustahil kau mengingkari itu, Fiki.
Diam-diam dia katakan cinta padaku di sekolah. Dia lupa kalau aku hanya gadis kecil, pencinta bunga matahari. Dia tak ingat ketika aku jatuh dari lantai karena licin kemudian dia tertawa di hadapanku. Ah, sekarang dia menjadi tunduk merukuk begitu.
Katakanlah sesuatu begini: aku tidak cinta kamu, aku bukan tipe gadis yang suka pada ketampanan lelaki, dan aku menolak bunga mawarmu. Puas!
Ya, dengan ucapan itu dia murung, wajahnya seperti dikerubung hantu, ketakutan dan nyaris menangis. Lelaki cengeng, lelaki tak punya malu, jika ditolak buru-buru menebus diri dengan ngebut-ngebutan. Aneh! Kok cinta disamakan sepeda motor.
“Fiki, bukan tak cinta, aku hargai jerih payahnya, tapi Fiki tak ingin sakit hati kedua kalinya.” Ucapku ke Ida yang selalu bertanya karena menolak lelaki idaman gadis sekolah.
Aku beranjak ke kantin. Aku beli es teh dan mie goreng. Ida beli nasi pecel dan es teh. “Seperti katamu, dia terus menerus pantang mundur.”
Hahaha… cinta tak diciptakan tapi ditanam seperti benih padi. Jika kau disiram maka kau tumbuh.
Sudahlah, aku pikir cinta kepada diriku sendiri sudah cukup. Ida terdiam. Iya, aku masih cinta hidupku, aku masih cinta kamu, Ida. Hehehe… Ida terkekeh. Dan aku belum saatnya mencintai lelaki.
Teguh sekali prinsipmu, kata Ida. Aku mengangguk. Es tehku hampir habis. Es tehnya Ida sudah habis. Aku kembali ke ruang kelas. Teman-temanku mencibir, buang kata-kata saja. Aku dituduh gadis tak tahu diri. Gadis tak punya belas hati. Gadis peretak hubungan Arif dan Marsha.
Aku biasa-biasa saja. Tidak marah. Tidak dendam. Dua jam kemudian, pelajaran Matematika usai. Ibu Muslimah mengajakku pulang bersama. Ida suka karena bersama Ibu Muslimah artinya dapat tumpangan gratis naik mobil. Aku setuju. Ibu Muslimah baik dan suaminya juga baik. Serasi. Ida dan aku lagi-lagi tersenyum. Iya, serasi sekali.
Kau masih gadis, kejar cita-citamu sampai ke Prancis, kata Ibu Muslimah. Aku mengangguk. Prancis? Wow… di sana ada menara dan sangat kuinginkan. Aku ingin hadir di tengah kota Paris.
“Bareng Arif, ya?” celetuk Ida.
“Benar,” jawabku. Ida bilang, “Yes.”
“Benar-benar gila kamu!”
Hahaha… ibu Muslimah membawa kami ke warung lesehan untuk makan siang. Setiap hari ibu Muslimah begini: traktir makan dan berkeinginan mengadopsi kami.
Meski ibu Muslimah kaya, belum dianugerahi buah hati. Aku kasihan sesekali berdoa untuk kebaikan dan kasih sayang ibu Muslimah. Ida pun tertegun. Ya Allah, hidup berliku maka puncaknya hidup berbahagia.
***
Sekarang kau boleh percaya atau tidak, Arif putus dengan Marsha. Ida meyakinkan itu padaku. Terus? Dan Arif katakan bahwa cintanya hanya kepada Fiki. Terus? Marsha menangis. Terus? Arif cinta kamu, Fiki. Terus?
Ida memberi kabar baiknya tentang Arif kepadaku. Lantas aku cinta dia. Muda itu tak mesti begini: jatuh cinta, jatuh dari godaan setan, jatuh menjatuhkan perasaan.
Aku belajar untuk konsentrasi Ujian Nasional bulan April tahun ini. Tak menyisakan ruang hati untuk lelaki. Terlanjur perih. Terlanjur tak ingin mencintai lelaki di tahun ini. Sebab dikhianati seperti goresan luka di nadi dan hampir meninggal. Tak kusediakan waktuku mengobral cinta.
Arif, lelaki sempurna (kata cewek-cewek kelas XII). Aku tak tertarik. Jangan pernah terlalu membenci, nanti benar-benar jatuh cinta lho! Ida mengingatkanku. Itu sugestimu, bukan sugestiku.
Aku tak mau lulus dengan nilai setengah-setengah. Aku ingin membahagiakan orang tua. Aku kira sekolah itu bukan menuntun cinta tapi menuntun ilmu. Aku bukan terlena, aku jaga-jaga. Nilaiku mesti yang terbaik.
***
Aku dipanggil ibu Muslimah ke ruangan guru. Entahlah dan Ida menggeleng kepala. Aku tergesa-gesa dan ibu Muslimah tiba-tiba menatapku seperti patung. Ah, ibu! Dan jelaslah perkaranya, soal cinta. Oh, Tuhan! Mengapa di sekolah ini harus kusaksikan cinta yang bergaris-garis dan tak saling mengikat. Selalu patah di tiap aku mencoba sumringah. Ibu Muslimah mengingatkanku: jika cinta kau idolakan, jika cinta kau kecup-kecup, jika cinta kau rindu-rindu, kau cinta kau mau-mau, jika cinta kau suka-suka, jika cintamu kepada lelaki lebih besar dari mata pelajaran, maka dari mana lagi kau belajar tentang matematika, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan pelajaran agama?
Sebenarnya aku ingin jelaskan kepada ibu Muslimah. Namun ibu Muslimah terlalu cepat menggagas amarahnya. Aku tak diberi kesempatan mengatakan sesuatu. Aku dibiarkan diam, kaku, membeku di kursi.
Aku ingat pada percakapanku dengan Ida semalam lewat ponsel tentang cinta seolah-olah rekayasa. Sebab Ida dengar di kantin sekolah kalau Arif hanya bermain-main saja dengan cinta, sedangkan Marsha diputus karena Arif suka sama ibu Muslimah.
Apa? Seperti adegan sinetron. Aku letakkan ponsel. Aku bilang ke hatiku: ibu, jika cinta membutakan Arif, kepada siapa kegundahannya dia lampiaskan?
Sampai bel jam sekolah mengetuk pintu, ibu Muslimah membereskan buku-buku. Aku membeku di kursi. Aku belum mengucapkan tentang Arif pada ibu. Langkahnya terburu, dia membaca pesan di ponsel: cinta itu bunga mawar di matamu, Muslimah!
Aku mencoba menebak, pesan itu dari Arif. Tapi Ida mengernyitkan dahi. Arif tak berani begitu, Fiki. Ah, siapa tahu! Aku tak pulang bersama ibu Muslimah. Aku dan Ida naik angkutan kota. Kebersamaan ini terlalu indah untuk dilupakan, Ida!
Angkutan kota melaju. Di pikiranku, ibu Muslimah pasti esok marah-marah lagi. Dan ibu Muslimah menunjukku berdiri di depan kelas. Ibu Muslimah mengira aku telah menjatuhkan citranya di hadapan anak-anak, seperti Arif yang mengirimkan bunga lalu mengungkapkan cintanya. Aku diteriaki sebagai gadis nakal, aku dicibir sebagai gadis sundal. 
Ida memelukku. “Pesan singkat, Ibu Muslimah positif hamil, Fiki!” bisikannya memecahkan lamunanku. Tuhan menciptakan bunga di lengkung mata sabitnya. Cinta tanpa cacat di hatinya.
Di angkutan kota, orang-orang mengira aku dan Ida sepasang kepompong yang bermetamorfosa jadi kupu-kupu, ada sayap yang tumbuh di balik punggung, ada tanda-tanda akan terbang ke angkasa.
Malang, Maret 2012

Jumat, 16 Maret 2012

Hujan di Perempuan Itu


Seruan perempuan di meja. Rindu lelaki di sana. Aku tergugah
padamu, hujan. Tubuhku lumayan tabah bila kau goyah
dan percik air sudah meluas ke kolongkolong harapan dan nafas 
perempuan sampai akhir membauimu.Tapi lelaki di sana
tak selesai menjawab. Aku pandangimu, hujan.

Seruan demi seruan. Perempuan pemangku cinta, tetapi lelaki
sedang sibuk meminjam jas. Ada hujan menyeru, dan menyerbu.
Aku melihat hujan di perempuan itu. Lebih deras, memeras
lukanya, memindah dukanya pada air yang mengalir
di kolongkolong harapan.

Aku tahu kepergian bukanlah seruan, bukan harapan.
Niscaya padamu, hujan. Perempuan teduhkan
apa yang melukainya. Aku menyelimuti diriku
pada separuh minuman yang meneteskan aroma di balik hujan.

Malang, 2011

Kamis, 15 Maret 2012

Konde Penari Tugu (Fiksimini Juara I FLP Malang Raya)


Aku berlari menuju ibu. Orang-orang tertawa dan memuji lalu menyentilnya. Sesekali ada yang membicarakan Ibu akan tubuhnya.
“Lihat tubuhnya. Aku suka,” kata lelaki tambun.
“Manis juga, ya!” ujar temannya.
Betapa malam ini memerihkan hatiku. Sedari tadi tangis menetes di pipiku. Suasana meriah tak sanggup membawaku pada uraian luka yang sangat pilu. Ibuku, ah, sepanjang keramaian pun lelaki menyentuhnya. Ada saweran, ada pujian, ada ucapan sayang.
***
“Bukankah kita diajarkan sopan santun, Bu?” ucapku saat melihat ibu memperbaiki sanggulnya, konde kesayangannya.
“Sudahlah. Zaman sudah berubah, Nak! Kita harus mengikutinya, jika kita tidak ingin ditindas dan diperas,” jawab Ibu yang hampir sempurna cantiknya.
Aku melihat konde yang dipakai ibu. Konde yang menjadi mahar ayah kepada ibu dulu. Yang sangat diagungkan oleh orang-orang zaman dulu. Saat itu, ibu menjadi cantik nan peri.
Seperti di dinding rumah, ibu tampak anggun dengan konde itu. Ibu, betapapun malam ini kau menjadi perempuan yang dimiliki oleh lelaki-lelaki itu, aku menginginkan ibu yang dulu. Ibu yang selalu khusyu’ menceritakan kisah-kisah kotaku, muasal tentang Brawijaya, kelokan rindu perempuan yang menunggu suaminya dari perang, ataupun Tugu yang menjadi kenangan bagi ibu dan ayah saat pacaran. Aku rindu nyanyian itu ibu, nyanyian yang sesekali membuatku tangis di waktu gerimis ada di pelipis.
Malam semakin ranum, dan ibu sungguh bukan lagi mengiris mata hatiku tapi begitu magis. Ibu seperti memantra, seolah-olah decak kagum penonton duhai ramainya.
“Ibu Zulaikha, kan?” ada perempuan di dekatku seperti mengenali sosok ibu.
“Oh, kenapa ia bisa menjadi penari di Tugu?” temannya saling bertanya.
Deg! Aku menjadi tersayat-sayat oleh kata tanya itu. Betapa banyak orang-orang, betapa luka menembus ke hatiku.  
***
“Jangan bilang kau tak suka anakku!” tegas ibu, aku mengangguk.
“Ini semua demi hidup kita. Biaya hidup semakin mahal, bagitu juga biaya sekolahmu, ibu tak punya apa-apa. Kemarin, ibu diberhentikan dari sekolah. Ibu tak lagi menjadi guru. Ibu penari di Tugu. Tengoklah ibu kalau malam minggu.”
Aku kembali mengangguk, meskipun perih di dadaku tak kunjung tunai. Aku ingin menangis di kuburan ayah. Aku ingin ceritakan betapa ibu tak lagi seperti dulu. Ayah, apakah kau mendengar suaraku?
***
Sorak sorai menggema. Malam kian ranum dan kulihat ada lelaki yang kukenal. Lelaki yang selama ini kusebut ayah. Ia duduk di deretan terdepan. Penonton bilang ia sebagai pemantra agar para penari segera ndadi dan menari lihai, anggun.
Seketika, lelaki itu menuang mantra dan menghadap ke arah penonton. “Kami suami-istri, sepasang kekasih yang mencintai, nama penari ini, Zulaikha.”
Gerimis kian tipis, tangisku begitu picis. Ayah dan ibuku saling memperlihatkan kemesraan di sebuah Tugu. Sedang aku menjadi anaknya yang paling histeris. Adakah konde yang bisa kupakai kelak? Jika ibu mengalamatkan cintanya pada sebuah perayaan yang tiap laki-laki mampu menikmati kemolekan dari tubuhnya. Ah, ibu! (*)

Aula Skodam, 6/05/2011