Kamis, 07 April 2011

Sajak-Sajak di Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit Dewan Kesenian Mojokerto


2 Sajak Ini Dimuat dalam Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit Dewan Kesenian Mojokerto, 2010

Di Malam Purnama  

di malam purnama aku mau meninggikan dahaga langit
seperti tubuh angkuh sang dewa menegakkan mata celurit

aku melebur ke dalam pusara goa
mengikuti ritual yang dipakai tumbal
dengan ari-ari cahaya untuk menggapai puncak surga

sebab orang-orang mabuk membangun kota
dan merekayasa kitab-kitab hidupnya
menjadi segenggam pepasir yang tak habis mengukir luka
sedang bumi telah purba karena kanibalisme antar mereka
karena itu aku mau tinggalkan genderang gemerlapnya dunia

ingin kugapai jagad walau aku harus semedi berabad-abad
kuletakkan kamboja di atas kepala
biar tumbuh menjulang menjadi tangga
hingga dapat kupetik bintang-bintang yang esa
dimana tak ada lagi pura-pura dalam kata-kata

dan dari dinding-dinding goa
aku akan menghuni tempat yang tak dilirik oleh mereka
sampai aku menjelma malaikat  
di sebuah keheningan yang menjorok ke dermaga

Malang, 2010 

Sepasang Doa yang Tersisa

bila tanah yang kita pijak tak lagi merah warnanya
dan airmata kita tak mengalir ke telaga
maka ingin kupindahkan surau-surau yang perawan ke dalam rahim hidupmu
ketika orang-orang berlabuh ke mall, karaoke dan café
menjadi sembahyangnya sehari-hari

lalu kujadikan tiang-tiang langit
sebagai penyangga di pundakmu yang hampir rubuh
agar dapat kita tegakkan suara riuh
yang pernah terkembang di radio dan televisi setahun penuh

mestinya kita bangun bata-bata agar aku mampu
menata kembali rumah kita yang terlahir dari
sebuah cerita yang pernah kekal di cakrawala mahabarata
antara dewi shinta dan rama

bila tanah yang dulu kita pijak tak memerah warnanya
dan airmata kita sudah kering sepanjang usia
karenanya aku mau surau-surau menciptakan janin bagi perjalanan
kita di sepasang doa yang tersisa

Malang, 2010

Sajak-Sajak di Padang Ekspress (1)


3 Sajak Ini Dimuat di Padang Ekspress, 19 Desember 2010
Jika Aku Rerumputan
teruntuk Ayah dan Ibu

jika aku rerumputan
maka ingin kutasbihkan segenggam perjuangan  
dari lidah hujan dan aroma tanah coklat di tubuhmu.
hingga bersama kuning padi dan jagung muda
aku lesatkan doa mengenang tapak tapakmu.

sebab aku rerumputan nakal seperti anak anak bebal
yang tumbuh di antara pematang dan layangan
merasa mirip peremuk tanaman daripada penyemai ketulusan.

lalu di antara julur lidah hujan kau pukau ladang
dengan cara mencacah tanah
bahwa kau tahu sesungguhnya hidup
seperti kicau burung gagak yang menawan di beberapa jarak.

aku cium aroma tanah coklat di tubuhmu sementara langit
menjadi pohon randu tempat mengasah rindu
dan barangkali
aku hanya bagian dari sembilan puluh sembilan rerumputan
yang masih hijau mentarjamahkan
sedu sedannya meraih kenyataan di pucuk usiamu.

Malang, 2010


Di Perahu Perantauan Sepanjang Lautan

bagi kita meresapi perjalanan di perahu perantauan sepanjang lautan
adalah riuh yang merisau seperti pisau bermata rahasia
sejak permulaan tanpa kita tahu akan menjelma apa
dan bagaimana laut mengantar rimba kita.

mungkin soal doa kita sempat baca
atau nyanyian pengamen mengeras di senja
menemani kita beranjak ke kanal berikutnya.
tapi kita pun tak awas pada batang gelombang
hingga kita hampir muntahkan lagi kata kata kecemasan
dan nyaris rubuh kesabaran menanti pelabuhan.

sementara tiap tiap percakapan kita menyoal
usia, hujan, dan lelaki yang wajahnya berduka
bersama angin asing yang tiba tiba menyapa.

ah, inikah ketakmengertian kita tentang perjalanan
tentang hidup seolah kita tak peduli
laiknya ombak ombak meremukkan dermaga
dan kita mencari muasal kembara.

Malang, 2010


Kusampaikan Padamu

jika kau tak mau menjadi malaikatku
biarkan aku terbang ke langitmu
membawa separuh perihku
dan sebentang duka yang baru kau lubangi di hatiku.

jika kau tak mau menjaga kesepianku
lepaskanlah aku dari jeruji desahmu
dan aku ingin menjelma bidadari di malam biru

sebab tak ada yang lebih kurindu
begitu di bawah hujan kau cium dua bola mataku
seperti kembang tumbuh di halaman rumahku.

ah, kini buih buih lukaku bersemayam
semacam temaram senja dan malam kian kelam
hingga airmataku tak sanggup menahan dalam dalam
betapa kepergianmu tak kuinginkan walau semalam.

jika kau tak mau menjadi malaikatku
kusampaikan padamu bahwa jiwaku memar dan bergetar tiap waktu.

Malang, 2010